Latar Belakang Perang dagang negara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok
Saat ini Masyarakat di Indonesia maupun di dunia sedang diramaikan dengan berita Perang dagang antara AS dan Tiongkok, yang pada akhirnya berimbas kepada negara-negara lain yang bekerjasama dengan mereka, termasuk negara kita yaitu Indonesia. Perang dagang tersebut sendiri dimulai pada tanggal 6 Juli 2018, yang pada saat itu Presiden AS, Donald Trump, memberlakukan tarif dan hambatan perdagangan lainnya terhadap Tiongkok. Tujuannya AS adalah memaksa Tiongkok mengubah praktik dagang yang dianggap tidak adil serta pencurian kekayaan intelektual, subsidi besar-besaran ke perusahaan negara, dan pemaksaan transfer teknologi.
Pemerintahan Trump yang pertama menyatakan bahwa praktik-praktik ini dapat berkontribusi terhadap defisit perdagangan antara AS dan Tiongkok, dan bahwa pemerintah Tiongkok mewajibkan transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan Amerika. Sebagai respons atas tindakan perdagangan AS, pemerintah Tiongkok menuduh pemerintahan Trump melakukan proteksionisme nasionalistik dan mengambil tindakan balasan.
Setelah perang dagang meningkat pada tahun 2019, pada Januari 2020 kedua belah pihak mencapai kesepakatan awal yang tegang. Pada akhir masa jabatan pertama Trump, perang dagang secara luas dianggap sebagai kegagalan bagi Amerika.
Pemerintahan yang baru pada saat itu, Joe Biden mempertahankan tarif yang telah diberlakukan dan bahkan menambahkan bea masuk tambahan terhadap produk-produk Tiongkok, seperti kendaraan listrik dan panel surya. Pada tahun 2024, kampanye presiden Trump mengusulkan tarif sebesar 60 persen terhadap produk-produk Tiongkok.
Pada 1 Februari 2025, pemerintahan Trump menaikkan tarif terhadap Tiongkok sebesar 10%, dan pada 4 Maret menaikkannya lagi sebesar 10%. Wikipédia, a enciclopédia livre
Sejak Februari 2025, pemerintah Trump telah memberlakukan tarif total sebesar 20% terhadap Tiongkok. Pada 2 April 2025, pemerintah Trump meningkatkan total tarif impor dari Tiongkok menjadi 54%, yang kemudian dibalas oleh janji tindakan balasan dari pemerintah Tiongkok.
Tahun 2025 menandai dimulainya kembali konflik dagang antara AS dan Tiongkok pada awal pemerintahan kedua Trump, dengan pemberlakuan tarif signifikan oleh kedua belah pihak. AS menetapkan tarif sebesar 145% terhadap produk-produk Tiongkok, sementara Tiongkok merespons dengan tarif sebesar 125% terhadap produk-produk Amerika. Pada 11 April 2025, Tiongkok mengumumkan peningkatan tarif atas impor dari AS dari 84% menjadi 125%, sebagai pembalasan atas langkah tarif AS. Kementerian Keuangan Tiongkok menyatakan bahwa jika AS terus memberlakukan tarif tambahan terhadap produk-produk Tiongkok, tindakan tersebut akan diabaikan karena produk-produk Amerika sudah tidak dapat dipasarkan lagi pada tingkat tarif saat ini.
Meskipun tarif yang tinggi diberlakukan, AS mengecualikan beberapa produk elektronik Tiongkok seperti ponsel, komputer, dan mikroprosesor dari tarif baru, dalam upaya untuk mengurangi dampaknya terhadap konsumen dan perusahaan teknologi. Eskalasi tarif antara dua ekonomi terbesar dunia ini telah menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap rantai pasokan global dan perdagangan internasional. KOMPAS.comEl PaÃs
Produk pertanian Indonesia yang terdampak imbas perang dagang AS–Tiongkok
Meskipun Indonesia bukan merupakan pihak langsung dalam perang dagang AS–Tiongkok, namun dampaknya tetap terasa secara tidak langsung, terutama karena perubahan dalam rantai pasok global, permintaan pasar, dan harga komoditas dunia.