Sejarah dan Kejayaan Stasiun Radio Malabar
Stasiun Radio Malabar merupakan salah satu peninggalan sejarah penting di Indonesia yang terletak di Kawasan Gunung Puntang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Stasiun ini di bangun oleh pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1917-1923, stasiun ini dirancang oleh Insinyur elektro Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot.
Tujuan utama pembangunan stasiun ini adalah untuk menjalin komunikasi nirkabel antara Hindia Belanda dan Belanda melalui gelombang radio jarak jauh.
Stasiun Radio Malabar menggunakan teknologi pemancar VLF (Very Low Frequency) dengan daya mencapai 2.400 kW, menjadikannya salah satu stasiun radio paling kuat pada masanya.
Antena sepanjang 2 kilometer dibentangkan antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun, dengan ketinggian rata-rata 350 meter dari dasar lembah.Â
Antena ini dirancang untuk mengarah langsung ke Belanda, yang berjarak sekitar 12.000 kilometer dari lokasi stasiun.
Pada masa pendudukan Jepang, stasiun ini digunakan sebagai alat propaganda dan berkomunikasi dengan Hooshoo Kanri Kyoku di wilayah pendudukan Jepang lainnya.
Setelah Jepang mundur dan Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia, para pejuang republik di Bandung Selatan menghancurkan stasiun ini pada tahun 1946, bersamaan dengan peristiwa Bandung Lautan Api, untuk mencegah penggunaannya oleh Belanda.
Transformasi Menjadi Destinasi Wisata Sejarah dan Alam
Kini, sisa-sisa bangunan Stasiun Radio Malabar masih dapat ditemukan di kawasan Gunung Puntang. Meski sebagian besar bangunan telah hancur, beberapa struktur seperti kolam depan stasiun masih bertahan.
Lokasi ini kini menjadi objek wisata sejarah dan alam, lengkap dengan hutan pinus, air terjun, sungai, dan fasilitas seperti kafe untuk para pengunjung.
Stasiun Radio Malabar di Gunung Puntang kini menjadi salah satu destinasi wisata sejarah yang menarik perhatian wisatawan dari berbagai kalangan.Â
Menurut Tatang Setiana, salah satu karyawan di lokasi wisata ini, pengunjung yang datang sangat beragam, mulai dari lansia, anak muda, keluarga, hingga turis asing, terutama dari Belanda.
Banyak dari wisatawan mancanegara tersebut datang untuk melakukan napak tilas, dan keunikan sejarah yang dimiliki Malabar juga ikut menarik minat turis asing lainnya.
Tantangan Pengelolaan dan Harapan terhadap Pemerintah
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi pengelola adalah persepsi sebagian pengunjung yang menganggap harga tiket masuk masih terlalu mahal.
Hal ini menjadi hambatan tersendiri dalam pengembangan pariwisata di kawasan tersebut.
Tatang berharap pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata, lebih memberikan perhatian pada pengelolaan wisata Stasiun Radio Malabar. Ia menyarankan adanya kerja sama antara berbagai pihak seperti pemerintah pusat, Perhutani selaku pemilik lahan, investor, dan masyarakat sekitar agar pengelolaan wisata dapat berjalan lebih baik dan saling menguntungkan.
Pentingnya Pelestarian dan Literasi Sejarah
Meskipun Stasiun Radio Malabar telah masuk daftar resmi sebagai warisan sejarah, hingga kini belum ada tindak lanjut yang jelas dari pemerintah sejak tahun 2022.
Padahal, potensi wisata ini tidak hanya dapat mendongkrak perekonomian warga sekitar, tetapi juga memperkenalkan kekayaan lokal seperti kopi yang tumbuh di kawasan Malabar.
Banyak wisatawan yang awalnya hanya datang untuk menikmati suasana alam dan kafe, namun setelah dijelaskan mengenai sejarah Stasiun Radio Malabar, mereka baru menyadari nilai sejarah yang tersimpan di baliknya. Acara dari kementerian, TNI, dan instansi lainnya pun sesekali digelar di lokasi ini.
Sayangnya, dari sisi literasi sejarah, masih terdapat kekurangan sumber yang valid. Banyak arsip penting tentang Stasiun Radio Malabar yang kini berada di Belanda, sehingga informasi lengkap tentang sejarahnya belum sepenuhnya tergali.
Ironisnya, beberapa turis Belanda justru diketahui lebih mengenal sejarah Malabar dibanding masyarakat lokal, karena mereka memiliki akses pada arsip-arsip tersebut di negaranya.
Penting bagi pemerintah dan instansi terkait untuk segera mengambil langkah konkret dalam pelestarian dan pengembangan wisata sejarah ini, agar tidak hanya menjadi tempat rekreasi, tetapi juga sumber pengetahuan dan kebanggaan nasional.
Sejarah Kolam Cinta peninggalan Hindia Belanda
Kolam Cinta di Gunung Puntang memiliki kaitan dengan Stasiun Radio Malabar yang terletak di kawasan yang sama.
Stasiun ini, yang dibangun pada 1923, merupakan salah satu pusat komunikasi penting pada masa penjajahan Belanda, sementara Kolam Cinta dikenal dengan mitosnya yang dapat membawa hubungan langgeng bagi pasangan yang berkunjung.
Keduanya berada di lokasi yang dikelilingi hutan pinus dan pemandangan alam yang sejuk.
Kolam Cinta, yang dulunya digunakan oleh noni Belanda, dan Stasiun Radio Malabar, yang berperan dalam komunikasi dan propaganda pada masa penjajahan, kini menjadi destinasi wisata yang menggabungkan keindahan alam dan sejarah.
Pengunjung dapat menikmati suasana historis sambil belajar tentang peran kawasan ini dalam sejarah Indonesia. Dikisahkan bahwa kolam ini dulunya digunakan sebagai tempat pemandian bagi noni Belanda.
Harga Tiket Masuk
Tiket masuk ke Gunung Puntang dikenakan biaya sebagai berikut: untuk kendaraan roda empat (mobil) sebesar Rp 15.000, sementara tiket per orang sebesar Rp 30.000. Untuk memasuki area berg dan Stasiun Radio Malabar, biaya tambahan adalah Rp 10.000 per orang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI