Masalah sampah di pinggir jalan merupakan persoalan klasik yang hingga kini masih sulit diatasi di banyak daerah di Indonesia. Ironisnya, meskipun sudah dipasang papan bertuliskan "Dilarang Membuang Sampah di Sini", tetap saja ada orang-orang yang tidak mengindahkan larangan tersebut. Salah satunya di pinggir jalan kawasan Yogyakarta. Sampah terus menumpuk di tepi jalan, merusak pemandangan, mengganggu kenyamanan umum, bahkan berdampak buruk terhadap kesehatan lingkungan.
Fenomena ini mencerminkan betapa rendahnya kesadaran sebagian masyarakat terhadap pentingnya menjaga kebersihan dan mentaati peraturan. Keberadaan papan larangan seharusnya menjadi pengingat bahwa membuang sampah sembarangan adalah tindakan yang salah, baik dari sisi etika sosial maupun hukum. Namun, kenyataannya tidak semua orang merasa terdorong untuk patuh. Banyak yang mengabaikan peringatan tersebut dengan alasan praktis, seperti malas mencari tempat sampah atau merasa "semua orang juga melakukannya".
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi masih maraknya perilaku buang sampah sembarangan di pinggir jalan. Salah satunya adalah kurangnya rasa memiliki terhadap ruang publik. Banyak orang merasa bahwa jalanan bukan bagian dari tanggung jawab pribadi mereka. Jalan raya dianggap sebagai milik pemerintah semata, sehingga merawat dan membersihkannya dianggap bukan kewajiban mereka. Padahal, ruang publik adalah milik bersama, dan sudah seharusnya dijaga oleh semua pihak.
Selain itu, perilaku buruk ini juga diperparah oleh minimnya penegakan hukum. Meski ada aturan dan larangan, sanksi terhadap pelanggar sering kali tidak ditegakkan dengan tegas. Akibatnya, muncul anggapan bahwa membuang sampah sembarangan tidak akan menimbulkan konsekuensi nyata. Tanpa efek jera, perilaku negatif ini terus berulang dan menjadi budaya yang sulit diubah.
Dampak dari tumpukan sampah di pinggir jalan tidak bisa dianggap remeh. Dari sisi estetika, jalanan yang dipenuhi sampah membuat lingkungan terlihat kumuh dan tidak terawat. Ini tentu merusak citra daerah tersebut, terutama di mata pendatang atau wisatawan. Selain itu, dari sisi kesehatan, sampah yang menumpuk menjadi tempat berkembang biaknya lalat, tikus, dan serangga lain yang bisa membawa penyakit. Bau busuk yang dihasilkan dari sampah organik yang membusuk juga mencemari udara dan mengganggu kenyamanan warga sekitar.
Lebih jauh lagi, sampah yang dibiarkan berserakan di pinggir jalan dapat menyumbat saluran drainase. Ketika musim hujan tiba, air yang tidak dapat mengalir dengan lancar akan menyebabkan genangan bahkan banjir. Ini adalah contoh nyata bagaimana kebiasaan buruk satu orang dapat berkontribusi pada bencana yang merugikan banyak pihak.
Upaya untuk mengatasi masalah ini tentu tidak bisa hanya mengandalkan pemasangan papan larangan saja. Diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif. Edukasi kepada masyarakat harus dilakukan secara terus-menerus, melalui berbagai media, baik formal seperti kampanye pemerintah maupun informal seperti kegiatan komunitas. Pendidikan mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan harus ditanamkan sejak dini, mulai dari keluarga, sekolah, hingga di tempat kerja.
Selain edukasi, penegakan hukum juga perlu diperkuat. Setiap orang yang kedapatan membuang sampah sembarangan harus diberikan sanksi tegas, sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku. Sanksi ini bisa berupa denda, kerja sosial membersihkan lingkungan, atau bentuk hukuman lain yang mendidik. Dengan adanya konsekuensi nyata, diharapkan masyarakat lebih disiplin dalam menjaga kebersihan.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memastikan ketersediaan fasilitas pembuangan sampah yang memadai. Tidak semua orang membuang sampah karena mereka bandel; ada juga yang membuang sembarangan karena tidak menemukan tempat sampah di sekitar lokasi. Oleh karena itu, penyediaan tempat sampah di titik-titik strategis sangat penting. Tempat sampah tersebut juga harus rutin dikosongkan agar tidak penuh dan meluber.