Di ufuk timur Indonesia, Pulau Sumba terbentang anggun dengan sabana luas, langit biru cerah, dan semilir angin yang membawa aroma tanah kering yang menua bersama sejarahnya. Tapi di balik keelokan itu, sebuah cerita genting tengah bergulir --- cerita tentang pangan, perut yang tak kenyang, dan pertarungan antara harapan dan kenyataan. Sumba, khususnya Kabupaten Sumba Tengah, kini berdiri di ambang yang mengerikan: krisis pangan.
Krisis Pangan Global Mengetuk Pintu Sumba
Dunia sedang resah. Perang Rusia-Ukraina mengacaukan jalur suplai gandum, harga pupuk melonjak, dan iklim global yang kian tak tertebak menenggelamkan musim tanam dalam ketidakpastian. El Nino hadir membawa kering, dan kekeringan menghadirkan bencana perlahan: gagal panen, ternak mati, dan pasar yang tak mampu mengimbangi inflasi harga bahan pokok. Di tengah guncangan ini, pulau-pulau kecil seperti Sumba, yang sejak lama sudah ringkih dalam urusan pangan, menjadi semakin rapuh.
Di Sumba, masalah bukan hanya tentang gagal panen atau distribusi, melainkan soal ketergantungan struktural terhadap sistem pangan yang tidak tahan banting. Ketika cuaca berubah, tanah retak. Ketika harga pupuk naik, petani pasrah. Ketika jagung---makanan pokok kedua setelah nasi---gagal, maka piring banyak keluarga dibiarkan kosong.
Sumba Tengah: Ladang Potensi yang Terlupakan?
Namun di tengah segala keterbatasan, Sumba Tengah menyimpan janji yang nyaris tak disadari banyak orang. Dataran luas dengan tingkat kepadatan penduduk rendah menyuguhkan potensi pengembangan pertanian dalam skala besar. Pemerintah pusat pun menangkap sinyal ini lewat proyek ambisius: Food Estate Sumba Tengah.
Awalnya seluas 5.000 hektare, proyek ini digagas sebagai lumbung pangan baru Indonesia. Tanaman padi dan jagung ditanam, alat mesin pertanian digelontorkan, serta harapan besar disematkan. Presiden Jokowi bahkan menyatakan perluasan lahan hingga 10.000 hektare. Namun di balik gegap gempita itu, kenyataan di lapangan masih jauh dari sempurna. Petani mengeluh: air irigasi tak cukup, alat bantu pertanian hanya sekilas datang, dan pelatihan tak menjawab kebutuhan riil di ladang.
Sumba Tengah tidak kekurangan semangat. Yang ia perlukan adalah pendekatan yang menyeluruh --- bukan hanya dari pemerintah, tapi juga dari akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil.
Pangan Lokal: Sang Penyelamat dari Dalam
Yang menarik, ketika sistem pangan modern mulai goyah, justru pangan lokal bangkit dari tidur panjangnya. Di sudut-sudut kampung, petani mulai menanam sorgum, keladi, ubi jalar, dan kacang tanah. Sorgum khususnya menjadi bintang baru: tahan kekeringan, kaya gizi, dan bernilai ekonomi tinggi. Di Sumba Timur, 3.000 hektare telah ditanami sorgum, hasilnya memuaskan, dan para petani mulai melihatnya sebagai alternatif masa depan.
Kisah inspiratif datang dari petani seperti Wunu Hiwal di Desa Ndapayami. Ketika hama belalang menyerang ladangnya, ia tak menyerah. Ia menanam sorgum dan ubi, meracik pestisida nabati sendiri dari bahan sekitar, dan mengajari sesama petani bagaimana bertahan dengan apa yang dimiliki. Di tengah krisis, lahirlah kemandirian.