Mohon tunggu...
Norman Yudha Setiawan
Norman Yudha Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Bukan sastrawan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT Itu Harus Ada!

30 Januari 2016   14:38 Diperbarui: 4 Februari 2016   09:20 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rasanya, Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender/Transeksual atau yang biasa dikenal dengan LGBT saat ini sedang menjadi problema tersendiri bagi rakyat di Indonesia. Saya paham betul bahwa fenomena ini kian merebak setelah terjadinya sebuah keputusan bahwa Amerika Serikat memberlakukan penerimaan terhadap kaum tersebut di sejumlah negara bagiannya. Bahkan pernikahan sesama jenis menjadi legal di negara tersebut.

Bagaimana dengan masyarakat di Indonesia?

Saya tidak bisa berkata bahwa di negara ini semuanya menolak atau sebaliknya. Ada sebuah pro dan kontra di sini.

Saya, adalah orang yang sangat-sangat setuju. Jangan kaget atau heran serta berpandangan sinis terhadap pernyataan saya, karena jelas sekali akan banyak orang yang juga sependapat dengan saya. Orang-orang yang setuju pada umumnya memberikan alasan karena mereka sendiri tidak peduli dengan ada atau tidaknya kaum ini. Ada juga yang mengatakan bahwa keberadaan kaum ini sudah merupakan garis jalan dari Yang Maha Kuasa sehingga tidak bisa kita mengelak. Tidak jarang bahwa mereka setuju karena kasihan dengan adanya kelainan dalam diri mereka dan setuju selama tidak mengganggu.

Sedangkan pernyataan ‘garis jalan dari Yang Maha Kuasa’ ini ternyata juga dijadikan dasar bagi mereka yang tidak setuju. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mungkin menciptakan sesuatu dengan tidak sempurna. Secara radikal, kaum ini dikatakan sebagai iblis, sebagai bukan manusia, dan bahkan ada juga yang menyamakannya pada binatang. Mereka berpendapat bahwa kaum ini meniru kegiatan hewani yang seharusnya tidak boleh ditiru. Sama seperti seekor singa yang membunuh anaknya sendiri, tentunya secara manusiawi hal tersebut tidak boleh dilakukan, maka begitu juga seharusnya manusia menghadapi kaum LGBT ini. Merek dianggap, dengan bahasa keren, sebagai peccatum contra naturam atau melakukan dosa terhadap alam.

Maka, berangkat dari sebuah dasar yang sama, terjadi sebuah kesimpulan yang berbeda. Di sini, saya hanya ingin menertawakan kita yang terpusing dengan keberadaan mereka. Mari kembali baca kitab suci kita. Dinyatakan di sana bahwa pada akhir zaman, hal-hal semacam ini akan terjadi. Perang, bencana, hingga kemerosotan moral seperti perceraian, pemerkosaan, seks bebas, pembunuhan hingga orientasi seks yang menyimpang seperti ini. Jangan lupa bahwa hadirnya Dajal yang merupakan tokoh eskatologi dalam Islam juga termasuk di dalamnya.

Menurut saya, segala hal tentang kiamat, sebagaimana sudah tertulis di dalam Kitab Suci adalah sebuah nubuat, sebuah ramalan yang pada suatu saat akan digenapkan, dan oleh karenanya, itu semua memang harus terjadi. Ingat sekali lagi, itu semua memang harus terjadi. Adakah satu di antara kita ada yang dapat menahan kiamat? Tidak seorangpun mampu.

Lagipula, mengakui eksistensi mereka bukan berarti kita harus mendorong semua orang untuk menjadi seperti mereka. Mereka ada, dan itu sudah tidak bisa diperdebatkan lagi. Jika tidak setuju, berarti yang harus dilakukan adalah memusnahkan mereka, seperti itu? Apakah hak kewarganegaraan Indonesia mereka akan dicabut? Apakah semua orang harus suka tempe karena kebanyakan manusia Indonesia menyukainya? Bukankah itu merupakan hak pribadi setiap orang? Sebuah cinta. Sebuah keagungan yang selalu digadang-gadang sebagai solusi terakhir umat manusia dalam menghadapi setiap persoalan.

Lebih baik buka diri kita untuk tidak memaksakan seseorang untuk mencintai orang lain seperti jaman Siti Nurbaya. Cinta menjadi sebuah keharusan. Saya yakin bahwa di hampir setiap elemen masyarakat, ada saja orang-orang ini. Dan perjuangan mereka untuk melawan akan semakin kuat ketika kita membangun tembok. Saya di sini bukan ingin berkata bahwa kita harus mendukung mereka, bukan itu. Tapi biarlah mereka ada, dan terjadilah seperti kehendak-Nya. Maka dengan begitu, jangan pula kita menjauhkan diri kepada mereka seperti sebuah virus, sedangkan HIV/AIDS, yang nyata-nyatanya adalah sebuah penyakit, kita turun tangan untuk saling membantu. Padahal, seringkali penyakit itu datangnya karena kesalahan diri sendiri.

Dari konteks mana para kontra kaum ini ingin berdebat? Karena secara fenomena, kaum ini sudah ada dan akan terus ada. Tidak bisa dipungkiri. Bila kita lagi ke masalah agama, maka keberadaan mereka malah akan memantapkan nubuat.

Maka, perdebatan kita ini memang hanya akan sia-sia karena pada dasarnya kaum ini akan terus ada. Mereka bahkan dianggap sebagai sebuah bentuk pertanda. Sebuah simbol untuk menuju akhir dunia. Sebuah pengingat. Keberadaan mereka hanya akan ditentang habis-habisan oleh mereka yang takut menghadapi jaman terakhir. Ya, siapapun yang menentang hanyalah pengecut terhadap akhir jaman. Mereka tahu bahwa mereka belum berbuat baik, dan dengan begitu ingin mengulur-ulur waktu Tuhan dengan cara meniadakan keberadaan kaum ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun