Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Masih Layakkah Berita Covid-19?

22 Juli 2021   10:18 Diperbarui: 22 Juli 2021   10:35 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Bang saya heran. Kok makin hari berita tentang Covid-19 makin seram saja. Jadi buat saya takut dan jujur panic attack." Kalimat itu meluncur dari seorang mahasiswi saya ketika materi kuliah mengenai bagaimana meliput dan menulis berita Kesehatan tengah berlangsung via google meet.

Saya rada kaget juga: mengapa pertanyaan itu muncul ibarat peluru kendali melesat.

Diakui atau tidak memang pemberitaan mengenai pandemic Covid-19 selalu mengutamakan berapa kasus positif Covid-19 lalu berapa yang berpulang karena keganasan virus tersebut. Lalu media memberi foto dukungan dari berita tersebut dengan deretan lubang lubur yang siap mengebumikan jasad pasien korban Covid-19.

Tiba-tiba saya teringat dengan pesan guru saya ketika bekerja di Harian Sinar Harapan. Namanya Pak Aristides Katoppo. Siapa yang tidak kenal, tokoh pers yang satu ini. Ibarat dua sisi mata uang. Begitulah jika ingin bercerita soal Harian Sinar Harapan dan sosok Aristides Katoppo.

Pak Tides, biasa saya menyapa beliau bilang begini: "Ketika kita menulis berita maka jangan lupa untuk menuliskan satu atau beberapa kalimat yang memberi harapan."

Kalimat itu hingga kini masih tergiang di benak saya termasuk teman-teman yang dulu satu perahu di Harian Sinar Harapan. Saya masih ingat ketika koran itu terbit Kembali pada 3 Juli 2001, Pak Tides mengusung tagline "Jurnalisme Damai". Jurnalisme yang memberi harapan; bukan menyodorkan kengerian sehingga pembaca menjadi takut dan panic attack seperti kata mahasiswi saya tadi.

Ibarat nyala sebuah lilin di tengah kegelapan. Nyala lilin walau kecil; tidak terang sekali tetapi akan menjadi penuntut orang yang berjalan dalam kegelapan! Ya nyala lilin itu menjadi sebuah harapan bahwa ada jalan keluar di tengah hitamnya malam; di tengah tidak ada lagi harapan sedikit pun; di tengah semua pintu tertutup! Idealnya bahkan seharusnya media massa menjadi sebuah lilin di tengah galaunya masyarakat. Persetan dengan berburu iklan dengan berita-berita yang note bene tidak memberi harapan sama sekali. Malah, kian membuat masyarakat panik. Sepertinya harapan itu tidak pernah ada!

Saya lebih mensejajarkan berita-berita mengenai pandemic Covid-19 dengan bagaimana jurnalis meliput peristiwa traumatik. Mungkin saya salah! Silakan dikoreksi. Bukankan kritik atau koreksi itu adalah salah satu jalan untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya meski tidak utuh kebenaran tersebut.

Jurnalisme Damai dan Traumatik

Dalam prinsip Jurnalisme Damai, jurnalis sebisa mungkin untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Jurnalis atau media massa jangan malah menjadi kompor memanasi kedua kubu agar konflik tetap berlanjut dan tidak ada penyelesaian sama sekali. Yang ada terus bertikai karena berita terus mengalir dari apa yang dinamakan konflik. Frasser Bond dalam "An Introduction to Journalism" menyebutkan bahwa konflik adalah salah satu faktor yang memengaruhi apa yang disebut nilai berita. Tinggalkan sebuah kejadian atau peristiwa jika tidak mengandung nilai berita. Begitu pesan dosen penulisan berita dua saya dulu di STP/IISIP Jakarta Pak Andi Baso Mappatoto.

Apakah ini artinya setiap berita yang mengandung konflik harus dihindari? Tentu saja tidak. Karena seperti kaidah Jurnalisme Damai tadi bahwa jurnalis harus ikut membantu meredakan sebuah konflik. Johan Galtung, Profesor dan Direktur Transcend Peace and Development Network mengatakan, "Korban pertama dalam perang bukanlah kebenaran. Kebenaran adalah korban kedua. Yang pertama terkorbankan adalah perdamaian."

Jurnalisma Damai setidaknya mengajarkan kepada jurnalis untuk dapat merefleksikan paradigma apa yang cocok dalam meliput konflik horizontal di tingkat lokal maupun nasional. Mulai dari konflik horizontal dengan nuansa agama, suku, identitas pekerjaan sampai konflik politik yang melibatkan massa bayaran atau konstituen tradisional.

Lantas bagaimana dengan jurnalis yang meliput peristiwa traumatik.  Bagi saya peristiwa traumatik bukan cuma tragedi kemanusiaan seperti pemboman di Kuta Bali (Oktober 2002), pemboman Hotel JW Marriot di Jakarta (Agustus 2003) atau pemboman di depan Kedutaan Besar Australia di bilangan Kuningan Jakarta Selatan (September 2004) atau peristiwa traumatik lainnya seperti pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, konflik social di Ambon serta bencana alam yang melanda Aceh dan Sumatera Utara pada Desember 2004. Dan masih banyak contohnya.

Tanpa disadari ketika jurnalis melaporkan tentang Covid-19 apalagi dengan framing menonjolkan kengerian seperti lubang-lubang di tempat pemakaman umum untuk jasad korban Covid-19 diakui atau tidak akan memberi dampak yang akan dirasakan oleh keluarga korban Covid-19 termasuk masyarakat yang membaca laporan-laporan tersebut. Yayasan PULIH menggunakan istilah penyintas (survivor). Seharusnya jurnalis (terutama media massa) tidak mendahulukan framing yang menggambarkan kengerian tetapi bagaimana menghindari efek negatif yang timbul seperti trauma ulangan (retraumatisasi) yakni keadaan di mana korban merasa seperti mengalami kembali kejadian tersebut. Intinga jurnalis dengan laporannya malah menciptakan trauma ulangan bagi penyintas.

Dalam buku "Panduan bagi Jurnalis dalam Meliput Peristiwa Traumatik" disebutkan sejumlah dampak peristiwa traumatik (secara umum) yakni gangguan pola tidur, emosi ekstrim yang sulit terkendali, gangguan efektivitas dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, tergoncangnya nilai-nilai dasar kemanusiaan, hilangnya kepercayaan terhadap orang atau kelompok lain, kecurigaan terhadap orang lain. Jika keadaan itu berlarut-larut makan penyintas dapat mengalami gangguan stres pasca trauma.

Berkaca pada semua hal di atas, saya kembali tergugah dengan pertanyaan mahasiswi saya itu. Apakah laporan-laporan bertubi-tubi dari media terkait pandemic Covid-19 benar-benar telah membuat kita panik?  Mahasiswi saya itu menyebut dengan istilah panic attack.

Saya sempat terdiam. Saya merenung panjang: apakah jurnalis kini lebih mementingkan "clickbait" (terutama untuk media online) ketimbang tanggung jawab sosial kepada pembacanya. Apakah tidak ada lagi niat untuk membagi satu kalimat atau lebih tentang sebuah harapan yang disusun dalam sebuah berita?

Tanpa terasa waktu kuliah melalui google meet telah berakhir. Perkuliahan daring karena pandemic Covid-19 telah berakhir. Tetapi uneg-uneg mahasiswi saya itu tidak berhenti. Dia memenuhi benak saya sampai akhirnya saya menulis status ini.

Saya masih tetap yakin selalu ada harapan dalam apapun kondisi kita. Selalu ada pelangi yang indah selepas badai! Harus yakin. Kita bisa melewati tsunami Covid-19 ini. Seperti judul sebuah film layar lebar: "Badai Pasti Berlalu".(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun