Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Emisi, Batu Bara, dan Renewable Energy Kolaboratif: Apakah Sudah Saatnya Kita Beralih?

30 Agustus 2022   21:48 Diperbarui: 31 Agustus 2022   07:27 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Renewable energy sebagai bentuk komitmen bersama untuk mengurangi emisi dengan teknologi dan resources yang ramah lingkungan (Pexels)

Hujan, bagi sebagian masyarakat Indonesia adalah berkah, sekaligus rizki yang menumbuhkan berbagai tanaman pertanian. Hujan juga menjadi penanda musim tanam siap dimulai dan lahan siap kembali diolah untuk menghasilkan berbagai tanaman pangan untuk ketersediaan anak negeri. 

Sayangnya hal ini berbeda bagi masyarakat Tambak Lorok di Semarang Jawa Tengah atau masyarakat pinggiran yang tinggal di area KH. Mas Mansyur Tanah Abang Jakarta Pusat. 

Bagi masyarakat di sini, hujan adalah tanda persiapan menghadapi banjir yang menghadang. Bencana yang setiap tahun menjadi langganan sejak pembangunan diberbagai sudut kota hingga pelabuhan digalakkan pada tahun 1980-an.

Banjir rob adalah salah satu yang paling dirasakan, di sebelah utara Semarang. Jika melewati jalan utama area Kampus Unissula, tentu kita sudah tak asing lagi dengan genangan yang terus menerus menggerus jalanan padat tranportasi. 

Tambak Lorok, adalah desa yang paling berdampak atas banjir ini. Tak jarang, kita akan menjumpai atap rumah masyarakat yang sejajar dengan tanah, tembok yang hilang, bahkan merendam satu kampung nelayan ini.

Tambak Lorok, merupakan kampung yang sangat strategis. Sebuah kampung nelayan yang terdekat dengan pelabuhan utama Tanjung Emas dengan jarak sekitar 2,8 Km. Kampung ini disebut oleh Pakar Hidrologi UNDIP, Prof. Nelwan dalam 'Asumsi-Distrik' (19 Maret 2021), adalah kampung nelayan utama Semarang. 

Sayangnya, struktur tanahnya merupakan tanah alluvial, bersifat lembek, endapan dari sungai puluhan tahun lalu, dan sebelah utaranya merupakan laut-pantai. Perkembangan perdagangan, ekonomi, daerah pantai yang lebih ramai, dibadingkan hulu membuat penggunaan wilayah sangat pesat. 

Dampak lingkungan, itulah yang dirasakan oleh masyarakat Semarang saat ini. Belum lagi keseimbangan alam yang terganggu dengan berbagai pembangunan di sektor pelabuhan sejak tahun 1980-an sehingga terjadi land subsidence dan semakin serius. Padahal di tahun 1960-an, menurutnya belum pernah di Semarang terjadi banjir rob.

Land subsidence, bukan satu-satunya penyebab dari persoalan lingkungan yang kita hadapi. Menurunnya harga hasil pertanian, kegagalan panen, semakin tergesernya satwa dari habitatnya juga menjadi dampak berbagai kerusakan lingkungan yang terus menggurita. 

Beberaapa penyebab lain yang yang juga kemudian menjadi faktor utama dimana kita kenal dengan perubahan iklim, terjadi pada 1800-an dari berbagai aktivitas 'kita' sebagai manusia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun