Mohon tunggu...
noni okt
noni okt Mohon Tunggu... -

pemerhati dan penikmat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bu Risma dan Prostitusi

19 Februari 2014   17:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:40 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saat saya menonton Ibu Risma di Mata Najwa beberapa pekan kemarin, ada terbersit rasa malu saat beliau menitikkan air mata karena emosinya yang meluap terkait masalah prostitusi di Surabaya.

Rasa malu dalam diri saya tersebut bukan karena pribadi Bu Risma yang ekspresif dan kepekaaan sosialnya, konsisten dengan apa yang ditunjukkannya setiap turun ke lapangan.

Saya sendiri sudah banyak mendengar tentang beliau jauh sebelum beliau tampil di Mata Najwa kemarin, karena untuk sekian waktu saya sempat tinggal di kota Pahlawan tsb dan melihat langsung apa yang sudah dilakukannya.

Rasa malu yang timbul dalam hati saya disebabkan karena kesadaran, bahwa selama ini kompetensi dan pengetahuan yang dimiliki selama ini ternyata belum bisa menjadi solusi atas permasalahan prostitusi di negara sendiri, khususnya kota Surabaya.

Beberapa bulan sebelumnya, saya terlibat dengan proyek konsultansi dengan organisasi internasional untuk masalah prostitusi dan trafficking pada anak.

Perlu saya jelaskan dahulu kenapa saya tertarik dengan masalah prostitusi ini sejak lama, saya percaya tidak ada seorang wanita pun di dunia ini yang -jika bisa memilih- akan mempunyai cita-cita sebagai PSK.

Lima tahun silam dari suatu sudut kumuh di kota Bandung, saat bertugas sebagai petugas lapangan saya menyaksikan bahwa prostitusi dianggap sebagai bisnis keluarga, dimana kewajaran adalah saat seorang anak memulai karirnya sebagai PSK sejak usia remaja, dengan ayahnya sebagai sang mucikari dan ibunya sendiri mantan PSK.

Kenyataannya memang begitu, prostitusi seperti suatu fenomena yang persisten dari abad ke abad. Walaupun perang melawan prostitusi sama lamanya dengan keberadaannya sendiri.

[Prostitusi: aksi menjual diri atau menukar uang/ barang dengan imbalan seks,

PSK: pekerja seks komersial, korban bisa anak-anak, perempuan, lelaki, atau waria].

Sedikit akan saya ulas juga apa yang saya ketahui tentang prostitusi.

Prostitusi adalah bisnis yang menguntungkan bagi banyak orang dan membutuhkan modal sedikit dengan kerugian yang minimal pula.

Saat bercocok tanam atau memulai ternak misalnya, kita membutuhkan lahan yang bisa diolah, membeli bibit, mengusahakan untuk kurun waktu tertentu sebelum dapat memulai hasilnya.
Kerugian saat kita bercocok tanam bisa gagal panen saat cuaca buruk atau seperti yang dialami petani sekitar gunung Kelud saat ini.

Lain halnya bagi prostitusi, bisnis yang terkait erat dengan perdagangan manusia.

Mucikari adalah sang tokoh utama, memegang peranan penting dalam dunia prostitusi, tetapi tidak perlu 'memelihara' PSK sebelum memanen hasilnya.

Korban PSK dapat dicari lewat mana saja, mulai dari target mereka yang terjerat dalam kesulitan ekonomi, korban trafficking ataupun istri, anak, saudara sendiri dapat dijadikan sumber pemasukan bagi mucikari (jika perlu lewat kekerasan fisik).

Konsumen atau pemakai jasa (umumnya lelaki) adalah faktor penting yang melanggengkan bisnis prostitusi. Memenuhi hukum ekonomi, "ada permintaan maka ada barang".

Selama ada lelaki yang membutuhkan jasa PSK untuk memuaskan apa yang dibutuhkan, selama itulah bisnis prostitusi akan bertahan.

Beberapa faktor yang mengakomodasi 'tumbuhnya' prostitusi:

- Kemiskinan dan kebodohan

Prostitusi umum dimulai dari kemiskinan, karena tekanan ekonomi maka orang biasanya akan bertahan hidup dengan melakukan apa saja.

Bagi wanita itu berarti, pilihan termudah adalah dengan menjual dirinya, apabila ia tidak mempunyai keterampilan lain.

Ada banyak penelitian dari negara-negara di seluruh dunia, contoh India, Bangladesh, China, Vietnam, Eropa timur, Amerika tengah dan Kanada, yang menguatkan fakta bahwa prostitusi lazim ditemukan di kawasan slum/kumuh.

Bahkan di Nepal, Bhutan, Pakistan dan daerah miskin dekat perbatasan India, banyak anak-anak kecil dijual oleh keluarga mereka sendiri sebagai PSK untuk sumber pemasukan.

Anak-anak kecil biasanya dapat dijual lebih mahal karena, seiring dengan maraknya kasus HIV belakangan ini, banyak konsumen (lelaki pembeli jasa PSK)lebih memilih anak kecil karena dianggap lebih 'murni' dan belum terkontaminasi HIV.

- Ketidak setaraan gender

Persepsi gender yang tidak setara jelas-jelas mendukung iklim yang sehat untuk tumbuhnya prostitusi. Contoh anggapan bahwa: 'Perempuan lebih rendah daripada lelaki, oleh karena itu wajar kalau diperjual belikan'.

Kultur atau daerah tertentu (seperti di India, China, Timur tengah) menganggap anak lelaki lebih 'berharga' dibanding anak perempuan. Anak lelaki dianggap sebagai pewaris keluarga, sedangkan anak perempuan tidak mempunyai hak yang sama dan acap dijadikan budak dalam keluarga.

Umumnya di banyak negara yang masih berunsurkan patriarkal juga perempuan diharapkan untuk menjaga 'kesucian'nya sebelum menikah, sedangkan lelaki diharapkan 'berpengalaman' dalam hal berhubungan seksual (bahkan sebelummenikah).

Akibatnya, banyak lelaki mencari 'pengalaman' ke perempuan yang terbeli, karena terbatasnya jumlah perempuan sebagai eksperimen.

- Penyalahgunaan obat-obatan

Obat-obatan tertentu seperti NAPZA (narkotik dan zat additif) dapat merangsang bagian otak tertentu sehingga menimbulkan ketergantungan.

Ketergantungan tsb dapat sangat kuat sehingga gejala sakaw yang dihasilkan menimbulkan rasa sakit hebat pada fisik orang yang ketagihan.

Beberapa negara dimana pengawasan perdagangan narkoba sangat longgar, mucikari lazim memberikan NAPZA kepada PSK di awal karir mereka (bisa menawarkan secara halus atau pemberian paksa).

Pemberian NAPZA ini berguna sebagai penawar rasa sakit (analgesik) bagi PSK yang terlibat, karena diantaranya mengawali karir di usia yang terbilang anak-anak dimana organ reproduksinya belum berkembang matang.

Belumlama berselang di dunia maya beredar dokumentasi tentang PSK anak-anak di Bangladesh yang dapat melayani 20 klien dewasa setiap harinya dan keterlibatan korban dengan NAPZA meningkatkan resiko tertular HIV.

Keterlibatan minuman beralkohol dan narkoba diantara PSK sangat memudahkan tugas mucikari untuk 'mempertahankan' status PSK yang dimiliki, karena PSK yang sudah addiksi akan lebih 'rela' menjual dirinya demi memenuhi ketergantungannya akan NAPZA.

Ini ada sebuah kenyataan yang sangat memilukan hati, karena masalah prostitusi yang sudah kompleks diperberat dengan penyalahgunaan narkoba.

Selain dari yang sudah disebutkan, masih banyak faktor diketahui bisa menyebabkan prostitusi; perceraian, pertengkaran orangtua/ kekerasan pada anak yang menyebabkan anak lebih kerasan tinggal di jalan, rasa ingin tahu dan sifat eksplorasi yang tinggi pada anak remaja, sifat konsumerisme yang membuat orang mencari cara mudah mendapat uang/ imbalan barang yang diinginkan, dllsb.

Prostitusi melukai fisik dan mental manusia yang menjadi korbannya, dari jenis kelamin dan umur berapapun, dengan motivasi apapun. Seorang manusia seharusnya mempunyai pilihan untuk mencari nafkah dan mempertahankan hidup dengan cara yang layak dan bermartabat.

Setali tiga uang dengan Bu Risma, saya pun tidak menyetujui adanya prostitusi di muka bumi ini khususnya di Indonesia.

Tapi bukan sikap setuju atau tidak yang bisa menyelesaikan masalah prostitusi, yang sudah dikenal sejak zaman nabi.

Membubarkan lokalisasi seperti Dolly sama seperti, ketika melihat kebakaran, maka kita mencoba menghilangkan asap tapi tidak mencari sumber api penyebab kebakaran tsb.

Sebaliknya, ada banyak solusi telah didokumentasikan dari berbagai belahan dunia untuk mengatasi masalah utama yang menyebabkan prostitusi.

Belajar dari India, sebuah klinik yang memberi pengobatan gratis bagi PSK dan keluarganya telah berkembang lebih jauh menjadi program lain untuk mengatasi masalah ekonomi dan kurangnya keterampilan yang menjadi alasan utama.

Pemberian mikrokredit dan pendampingan untuk mendapat keterampilan khusus seperti menjahit, memasak, berdagang telah dilakukan oleh organisasi swasta maupun pemerintah agar PSK tidak selama-lamanya berkarir di dunia prostitusi.

Bahkan PSK di India berinisiatif untuk mengawasi agar perempuan korban trafficking atau anak-anak di bawah umur jangan sampai masuk ke dalam prostitusi.

Negara di Amerika tengah seperti Meksiko, Chili, Peru juga memerangi prostitusi pada anak dibawah umur dengan memberikan pendampingan dan pelatihan yang dapat digunakan oleh mereka kelak untuk bertahan hidup.

Kerap kali anak-anak yang terlibat prostitusi adalah mereka yang putus sekolah dan bertahan hidup dengan apa saja yang bisa mereka lakukan di jalanan. Oleh karena itu, organisasi masyarakat yang terlibat dengan prostitusi anak juga harus turun ke jalan untuk mendampingi dan 'menyelamatkan' mereka.

Di Eropa timur, negara seperti Ukraina yang terkenal dengan perdagangan manusia juga telah memulai proyek 'penyelamatan' prostitusi pada anak dengan penjaringan lewat sekolah.

Karena sejumlah waktu anak usia sekolah dihabiskan di institusi pendidikan, maka sudah sewajarnya melibatkan institusi seperti sekolah untuk terlibat aktif dengan prostitusi.

Pembekalan pentingnya menjaga organ reproduksi milik pribadi, mejauhi bahaya narkoba/ NAPZA, dan bahaya yang ditimbulkan dari hubungan seks tidak aman dapat disampaikan dengan cara yang bersahabat dan mudah dimengerti agar remaja tidak mencari-cari di sumber yang salah.

Adalah bukan tugas Bu Risma semata untuk memerangi prostitusi.

Kita juga harus bertanya, kenapa pembeli jasa PSK tidak pernah berkurang walaupun di banyak daerah telah menutup lokalisasi.

Mereka yang membeli jasa PSK toh sama bersalahnya, bahkan jumlahnya lebih banyak dibanding PSK, tetapi acapkali malah tidak tersentuh dengan kebijakan yang ada.

Adalah tugas kita sekalian; akademisi, pemuka agama, praktisi kesehatan, pemerhati sosial, orangtua, negarawan, politisi untuk bersama-sama memerangi kemiskinan, kebodohan, ketidakpedulian yang menjadi akar masalah sesungguhnya dari prostitusi itu sendiri.

Perlu sebuah kebesaran hati untuk menerima, bahwa prostitusi sungguh ada dan bukannya menyangkal serta berlindung dibalik topeng agama dalam menyelesaikan masalah ini.

Sama seperti keberadaan prostitusi yang bisa melanggeng, perang melawan sumber masalah dari prostitusi harus terus menerus dilakukan oleh kita semua; melawan kebodohan dan kemiskinan, ketidak adilan dan ketidak merataan hasil pembangunan.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun