Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ekonomi yang Menyentuh Tanah: Saatnya Kembali ke Sektor Riil

20 Oktober 2025   15:07 Diperbarui: 20 Oktober 2025   22:24 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh SimplyArt4794 dari Pexels

Di tengah hiruk-pikuk angka pertumbuhan ekonomi dan sorotan terhadap fluktuasi suku bunga, kita sering lupa bahwa inti dari ekonomi bukanlah uang, melainkan pekerjaan. Suku bunga boleh naik-turun, arus modal boleh deras masuk dan keluar, tetapi tanpa lapangan kerja yang nyata, semua itu hanyalah fatamorgana kemakmuran. Dalam dunia yang kian finansialis, mungkin sudah saatnya kita mengembalikan arah pandang ke tanah tempat ekonomi sejati berpijak: sektor riil.

Seorang ekonom besar, John Maynard Keynes, pernah menggambarkan perekonomian dunia seperti tiga gunung besar yang berdiri berdampingan. Gunung pertama adalah sektor riil, tempat puncaknya berupa lapangan kerja (employment). Gunung kedua adalah sektor finansial, yang puncaknya diukur oleh tinggi-rendahnya suku bunga (interest rate). Dan gunung ketiga adalah sektor moneter, yang di puncaknya mengalir arus uang dan modal bebas (free flow of capital). Ketiganya saling berkaitan, namun hanya satu yang menjadi fondasi nyata kesejahteraan manusia, yaitu gunung sektor riil, tempat orang bekerja, memproduksi, dan mencipta nilai. Karena itu, setiap upaya memperbaiki ekonomi seharusnya dimulai dari menghidupkan kembali sektor riil dan menciptakan lapangan kerja, bukan sekadar menambah uang beredar atau mengutak-atik suku bunga. Sebab, ketika orang bekerja, pendapatan lahir, konsumsi bergerak, dan roda produksi berputar. Di situlah kehidupan ekonomi sesungguhnya dimulai.

Namun menciptakan pekerjaan tidak sesederhana menaikkan anggaran atau menurunkan pajak. Lapangan kerja tumbuh dari investasi, dan investasi hanya datang bila ada kepercayaan. Kepercayaan itu berakar pada hukum dan regulasi. Di sinilah ekonomi bersentuhan dengan moralitas publik. Hukum yang tegak bukan hanya menjamin keadilan, tetapi juga menjadi sinyal bahwa negara ini layak dipercaya untuk menanamkan modal. Tidak heran jika banyak investor memilih menunggu, bukan karena mereka tidak melihat potensi pasar, melainkan karena mereka ragu pada kepastian aturan main.

Dalam hubungan itu, filsuf ekonomi E.F. Schumacher pernah menulis dalam Small is Beautiful bahwa hidup dimulai dari hukum, karena hukum adalah produk politik, dan politik adalah jantung dari ekonomi. Ia menambahkan, ekonomi hanya dapat bergerak jika engineering-nya kuat, dan engineering berakar dari ilmu pengetahuan dasar. Kalimat ini sederhana, namun di dalamnya terkandung peta jalan peradaban. Sebuah negara tidak bisa makmur tanpa sains dan teknik yang kokoh, tetapi sains dan teknik juga tak akan berkembang tanpa tatanan hukum dan politik yang stabil. Maka dari itu, pembangunan sejati bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan upaya kolektif membangun peradaban yang berpikir.

Kita sering terpesona oleh proyek-proyek besar, gedung-gedung baru, dan angka-angka pertumbuhan yang memanjakan laporan. Namun jika kita menengok ke akar, banyak dari pertumbuhan itu belum menyentuh rakyat kecil. Banyak pekerja masih hidup dalam ketidakpastian, sementara investasi yang datang lebih banyak berputar di pasar keuangan ketimbang menciptakan pabrik atau industri baru. Inilah paradoks ekonomi modern: uang berputar cepat, tapi pekerjaan tetap langka. Seolah kita sedang merayakan kemakmuran statistik, bukan kemakmuran manusia.

Padahal, kunci keberlanjutan ekonomi terletak pada kualitas sektor riil. Ketika petani punya akses ke teknologi dan pasar, ketika UMKM mendapat dukungan modal dan pelatihan, ketika industri dasar diperkuat, maka pertumbuhan yang tercipta akan jauh lebih tahan lama dibandingkan sekadar suntikan dana jangka pendek. Pekerjaan yang produktif menciptakan harga diri, dan harga diri itulah yang membangun bangsa. Tidak ada kebijakan moneter secanggih apa pun yang bisa menggantikan makna sebuah pekerjaan yang bermartabat.

Namun investasi tidak akan datang hanya dengan imbauan. Ia membutuhkan ekosistem kepercayaan yang dibangun dari konsistensi hukum dan ketegasan politik. Negara harus menjadi penjamin kepastian, bukan sumber ketidakpastian. Jika aturan bisa berubah setiap kali menteri berganti, atau jika penegakan hukum bisa dibeli dengan kekuasaan, maka tidak ada modal yang mau berlama-lama menetap. Mereka datang cepat dan pergi lebih cepat. Ekonomi pun menjadi rapuh seperti istana pasir di tepi ombak.

Kita sering mendengar seruan bahwa investasi adalah mesin pertumbuhan. Namun mesin itu hanya akan menyala jika bahan bakarnya adalah kepastian hukum dan keadilan regulasi. Investasi yang datang karena spekulasi hanya menimbulkan ketimpangan, sedangkan investasi yang berakar pada kepercayaan akan menumbuhkan kesejahteraan. Perbedaan keduanya menentukan apakah sebuah bangsa sedang membangun masa depan atau sekadar menunda krisis berikutnya.

Untuk itulah, membangun ekonomi tidak cukup hanya dengan memperbaiki kebijakan fiskal atau menstabilkan kurs, karena akar kekuatan ekonomi sesungguhnya tumbuh dari manusia yang berpikir dan berkarya. Kita perlu menata ulang orientasi pendidikan nasional, bukan sekadar mencetak lulusan yang pandai berhitung pajak atau mengatur keuangan, tetapi yang mampu merancang mesin, meneliti material, dan menemukan teknologi baru. Di sinilah letak pentingnya penguasaan ilmu-ilmu dasar---Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan cabang-cabang teknik, yang menjadi jantung dari kemampuan engineering.

Engineering adalah motor penggerak ekonomi, tetapi motor itu tidak akan hidup tanpa bahan bakar yang bernama ilmu pengetahuan dasar (MIPA). Negara yang kuat dalam MIPA bukan hanya melahirkan insinyur, tetapi juga inovator dan penemu, mereka yang berani memecahkan masalah dengan solusi orisinal. Lihatlah bangsa-bangsa maju, dari Jerman hingga Korea Selatan, yang membangun kejayaannya di atas laboratorium, bukan hanya ruang rapat kebijakan. Inovasi teknologi adalah bentuk tertinggi dari kemandirian ekonomi, sebab di situlah bangsa menciptakan nilai tambah, bukan sekadar memperdagangkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun