Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Suara Rakyat Banten yang Terabaikan: Di Antara Debu Tambang dan Deru Truk Raksasa

16 Oktober 2025   14:07 Diperbarui: 16 Oktober 2025   14:12 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Tom Fisk dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/pasir-hitam-2101134/   

Di ujung barat Pulau Jawa, ketika malam mulai menelan cahaya, truk-truk raksasa menggulung aspal di jalanan Banten. Lampu sorotnya menembus gelap, debu berhamburan, dan suara mesinnya memecah keheningan. Di sisi jalan, rumah-rumah penduduk bergetar tiap kali konvoi itu lewat, membawa muatan pasir dan batu dari perut bumi yang terus dikuras tanpa henti. Di sinilah keluhan warga menggema, bukan sekadar soal kenyamanan, tetapi soal keselamatan, kehidupan, dan keberpihakan negara.

Masyarakat Banten kini sedang menanggung beban yang bukan mereka ciptakan. Eksploitasi tambang di wilayah Serang hingga Cilegon berlangsung bertahun-tahun tanpa kendali berarti. Alam yang dulu hijau kini perlahan menguning oleh debu tambang, sungai-sungai mengeruh, dan jalan-jalan kabupaten yang semestinya menjadi jalur warga kini berubah menjadi lintasan maut. Truk-truk tambang berukuran raksasa melintas saban malam, tanpa memperhatikan batasan tonase, tanpa penerangan memadai, dan sering kali berhenti sembarangan di bahu jalan, menciptakan titik buta yang berbahaya bagi pengendara lain.

Lebih ironis lagi, jalur yang mereka lewati bukanlah jalan tol yang memang disiapkan untuk kendaraan berat. Demi memangkas biaya, para sopir truk memilih melintasi jalan kabupaten yang sempit, seperti di jalur Kramatwatu dan kawasan Lingkar Selatan. Jalan itu, yang dahulu digunakan warga untuk menuju pasar, sekolah, atau tempat kerja, kini retak dan bergelombang. Ketika pagi tiba, sisa-sisa aktivitas malam hari itu terlihat jelas, lubang besar, ceceran pasir, dan aroma oli yang menyengat. Seolah-olah jalan itu tak lagi milik rakyat, melainkan milik industri tambang.

Protes warga bermunculan di berbagai media sosial, menjadi suara yang memecah kebisuan panjang. Mereka menyebut nama gubernur terpilih, Andra Soni dan Dimyati, dalam setiap unggahan, dengan harapan aspirasi mereka terdengar hingga ke ruang-ruang rapat pemerintahan. Tapi hingga kini, keluhan itu terasa menggantung di udara, tanpa kepastian tindakan. Rakyat hanya ingin pemerintah hadir, menegakkan aturan yang seharusnya melindungi mereka.

Masalah ini bukan perkara sepele. Truk-truk tambang telah menimbulkan korban jiwa. Jalan yang rusak dan pencahayaan yang minim menciptakan kondisi rawan kecelakaan, terlebih ketika kendaraan berat itu berhenti mendadak atau parkir sembarangan di sisi jalan. Di beberapa titik, warga menyalakan penerangan seadanya, hanya untuk memperingatkan pengendara lain agar tidak menjadi korban berikutnya. Di mata mereka, keselamatan sudah terlalu mahal untuk sekadar menunggu janji penertiban.

Kemarahan warga bukan hanya tentang kerusakan fisik, tetapi juga tentang ketimpangan moral. Mereka bertanya, bagaimana mungkin pemerintah membiarkan eksploitasi berlangsung sementara rakyat menanggung akibatnya? Mengapa izin tambang mudah keluar, tapi perbaikan jalan begitu lamban? Mengapa kepentingan bisnis begitu kuat hingga mengalahkan kepentingan publik? Pertanyaan-pertanyaan itu bergema dalam setiap unggahan video dan komentar warganet, seakan menjadi seruan kolektif bahwa keadilan lingkungan bukan sekadar jargon, tapi kebutuhan yang nyata.

Dalam salah satu dokumentasi lapangan yang dilakukan warga pada Selasa malam, 14 Oktober 2025, antara pukul tujuh hingga delapan malam, deretan truk tertangkap kamera tengah melintas di jalur kabupaten. Gambar itu menjadi bukti sederhana namun kuat bahwa laporan warga bukan isapan jempol. Bahwa aktivitas tambang memang berjalan tanpa henti, bahkan setelah banyak sorotan. Bahwa pemerintah seakan tutup mata terhadap fakta yang sudah di depan mata.

Kini, warga menaruh harapan pada perubahan kepemimpinan daerah. Mereka menuntut gubernur terpilih untuk bertindak tegas, mengevaluasi pejabat yang bermain mata dengan pengusaha tambang, dan menegakkan aturan seperti yang pernah dilakukan di provinsi tetangga. Banten, kata mereka, tidak boleh menjadi tanah yang dibiarkan hancur pelan-pelan oleh kerakusan segelintir orang. Mereka ingin pemimpin yang bukan hanya datang saat kampanye, tapi hadir ketika rakyatnya terancam.

Di balik semua keluhan itu, ada ironi yang lebih besar, negara sering bicara tentang pembangunan berkelanjutan, tapi di lapangan yang tampak justru keberlanjutan penderitaan. Jalan rusak diperbaiki seadanya, tapi esok kembali hancur karena truk yang sama melintas lagi. Alam ditambang atas nama ekonomi, tapi ekonomi rakyat di sekitarnya justru merosot karena lingkungan mereka rusak dan akses mobilitas terhambat.

Masyarakat Banten tidak menolak pembangunan. Mereka hanya ingin pembangunan yang adil, yang tidak mengorbankan keselamatan dan kelestarian alam. Mereka ingin hidup tanpa rasa takut di jalanan, tanpa harus mendengar suara mesin tambang setiap malam. Mereka ingin hak sederhana: udara yang bersih, jalan yang aman, dan pemerintah yang benar-benar berpihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun