Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Makan Bergizi Gratis: Janji Rp11 Ribu Triliun yang Dibayangi Risiko

30 September 2025   16:17 Diperbarui: 30 September 2025   16:17 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makan bergizi gratis (MBG), sumber https://health.kompas.com

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah investasi raksasa Rp335 triliun untuk masa depan Indonesia, tetapi sekaligus dibayangi risiko nyata. Perdebatan publik kini bukan lagi soal apakah program ini layak atau tidak, melainkan bagaimana menyeimbangkan janji potensi ekonomi belasan ribu triliun dengan fakta 5.600 kasus keracunan yang sudah tercatat dan mengancam nyawa anak-anak di sekolah. Di satu sisi, MBG menjanjikan multiplier fiskal dua kali lipat dan social return jangka panjang hingga 35 kali lipat. Di sisi lain, IPMS (insiden per sejuta sajian) masih di angka 5,6, jauh di atas standar internasional yang menetapkan angka aman di bawah 1.

Angka IPMS Indonesia ini, jika ditelisik, kemungkinan besar berasal dari fase uji coba program, yang mestinya menjadi laboratorium pembelajaran. Namun tingginya angka justru menunjukkan adanya kegagalan fundamental dalam kontrol kualitas pangan. Dibandingkan dengan Jepang (0,5), Amerika Serikat (0,1), dan Uni Eropa (0,1), posisi kita masih sangat rentan. Secara akademis, ini adalah peringatan keras, tata kelola pangan kita belum siap menjalankan program dengan skala masif. Artinya, sebelum mimpi besar tentang generasi emas terwujud, pemerintah harus berani mengakui kelemahan mendasar ini dan melakukan reformasi eksekusi yang serius.

Risiko kesehatan bukan hanya soal statistik. Ia bersentuhan langsung dengan kepercayaan publik. Ketika orang tua membaca berita keracunan anak sekolah, yang hilang bukan hanya rasa aman, tetapi juga keyakinan bahwa negara mampu mengurus anak-anaknya dengan baik. Dalam literatur kebijakan publik, public trust adalah modal sosial utama yang menentukan keberhasilan program jangka panjang. Tanpa kepercayaan, MBG bisa kehilangan legitimasi, bahkan sebelum manfaat ekonominya dirasakan. Maka, menjaga kualitas pangan bukan sekadar urusan teknis, tetapi syarat eksistensial.

Di sisi manfaat, sulit menolak logika ekonomi yang disajikan. Dari sisi jangka pendek, Rp335 triliun itu adalah bahan bakar besar bagi perekonomian. Dengan asumsi 10 persen anggaran dialokasikan untuk gaji pekerja dapur, program ini dapat menciptakan sekitar 800 ribu lapangan kerja baru. Namun manfaatnya lebih dari sekadar angka tenaga kerja. Uang itu akan langsung beredar di ekonomi lokal, dari pasar tradisional hingga UMKM katering, dari nelayan kecil hingga petani desa. Sekitar Rp200 triliun dana diperkirakan mengalir untuk pembelian bahan pangan, artinya petani beras, peternak ayam, pedagang sayur, hingga pengrajin tempe akan merasakan lonjakan permintaan.

Selain itu, Rp67 triliun yang dialokasikan untuk logistik, distribusi, dan rantai dingin akan mendorong sektor transportasi, packaging, hingga usaha mikro yang bergerak di bidang pendukung distribusi. Dan Rp33,5 triliun sisanya yang mengalir ke industri peralatan dapur dan elektronik rumah tangga lokal akan menjadi insentif bagi produsen dalam negeri untuk meningkatkan kapasitas. Inilah yang disebut efek bola salju, uang negara yang dibelanjakan bukan hilang, tetapi berputar dan melipatgandakan diri dalam aktivitas ekonomi. Jika multiplier fiskal diasumsikan 2, maka dampak langsung Rp335 triliun akan menjelma menjadi Rp670 triliun kontribusi terhadap PDB.

Namun manfaat sejati MBG ada pada horizon jangka panjang. Penelitian internasional konsisten menunjukkan bahwa investasi gizi menghasilkan pengembalian sosial (Social Rate of Return) antara 7 hingga 35 kali lipat. Dengan kalkulasi sederhana, Rp335 triliun hari ini dapat melahirkan manfaat ekonomi Rp2.345 triliun hingga Rp11.725 triliun dalam kurun 10 sampai 20 tahun, ketika anak-anak penerima manfaat MBG tumbuh menjadi generasi produktif. Bayangkan skenario 2045, bonus demografi Indonesia benar-benar menjadi bonus, bukan bencana, karena kita menyiapkan generasi yang lebih sehat, lebih cerdas, dan lebih kompetitif. Inilah narasi besar yang harus terus digelorakan sebagai kontra-argumen terhadap suara yang menolak MBG secara total.

Tetapi janji itu tidak bisa dicapai dengan manajemen asal-asalan. Karena itu, pendekatan stage rollout perlu ditekankan bukan sebagai opsi, melainkan sebagai syarat mutlak implementasi. Program ini harus dimulai dengan skala terbatas, misalnya 5 persen populasi siswa, kemudian dievaluasi secara mendetail, diperbaiki, dan diperluas secara bertahap. Dengan cara ini, pemerintah punya ruang belajar kebijakan yang terstruktur, mengidentifikasi celah kontrol kualitas, memperbaiki rantai pasokan, dan memastikan IPMS ditekan di bawah 1 sebelum diperluas secara nasional. Pendekatan bertahap ini adalah bentuk tanggung jawab moral sekaligus teknokratis, untuk mencegah tragedi kesehatan yang bisa meruntuhkan kredibilitas program.

Sementara menunggu IPMS turun, ide pengalihan dana sementara ke sektor lain yang mendesak juga masuk akal. Namun penting dicatat, ini bukan soal memilih salah satu, melainkan mengatur prioritas secara paralel. Data menunjukkan 60,3 persen ruang kelas SD di Indonesia dalam kondisi rusak, dengan total 1,1 juta ruang kelas. Untuk memperbaikinya, hanya dibutuhkan sekitar Rp59 triliun, atau 17 persen dari total anggaran MBG. Artinya, 83 persen dana masih dapat difokuskan pada MBG tahap awal yang terkontrol, sementara sebagian kecil dialokasikan untuk memperbaiki infrastruktur pendidikan yang sudah lama terabaikan. Ini adalah manajemen anggaran cerdas, perut anak-anak tetap kenyang, sekaligus ruang belajar mereka lebih layak.

Dengan demikian, dilema MBG bukanlah antara ya atau tidak, melainkan bagaimana cara terbaik mengelola risiko tanpa mengorbankan manfaat. Risiko keracunan harus ditekan melalui stage rollout yang disiplin, sementara manfaat ekonomi jangka pendek dan jangka panjang tetap digarap. Perbaikan kelas rusak tidak boleh dipandang sebagai pesaing program, melainkan sebagai pelengkap yang memperkuat pondasi pendidikan. Bayangkan anak-anak yang tidak hanya mendapat makan siang bergizi, tetapi juga belajar di ruang kelas yang terang, aman, dan nyaman.

Di sinilah peran pengawasan menjadi krusial. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan publik adalah prasyarat tak terpisahkan. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. BPOM harus aktif memastikan standar sanitasi, media harus kritis mengawasi distribusi, akademisi harus melakukan kajian independen, dan masyarakat sipil harus mengawal kualitas di lapangan. Orang tua murid tentu tetap berperan, tetapi pengawasan tidak bisa diserahkan kepada mereka semata. MBG adalah proyek kebangsaan yang melibatkan seluruh elemen, dari regulator hingga konsumen terakhir, anak-anak kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun