Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyampaikan bahwa mereka telah memblokir lebih dari 140 ribu rekening bank dengan total dana sekitar Rp428 miliar. Alasannya cukup sederhana, namun kontroversial: rekening-rekening itu tidak aktif selama tiga bulan terakhir.
Langkah ini diklaim sebagai bagian dari strategi pencegahan kejahatan keuangan, seperti pencucian uang, penampungan dana hasil judi, hingga pendanaan terorisme. Tapi alih-alih diapresiasi, kebijakan ini justru menimbulkan perdebatan publik. Banyak pihak mempertanyakan dasar kebijakan, efektivitas langkah tersebut, hingga dampak langsungnya terhadap masyarakat umum yang tidak melakukan kesalahan apa pun.
Pertama, publik mempertanyakan dasar penetapan waktu “tiga bulan” sebagai batas inaktivitas. Apakah ada riset yang membuktikan bahwa rekening yang tidak aktif selama 90 hari lebih berpotensi digunakan untuk tindak kejahatan? Atau apakah angka tersebut hanya muncul dari kesepakatan internal dalam rapat? Kebijakan yang diambil tersebut tidak adanya referensi data empiris, kajian akademik, atau benchmarking terhadap praktik lembaga serupa di negara lain. Ini tentu mencemaskan. Kebijakan publik yang menyentuh akses terhadap harta milik warga negara seharusnya lahir dari pendekatan berbasis bukti, bukan sekadar intuisi kelembagaan.
Kritik selanjutnya menyentuh logika eksekusi kebijakan. Dalam praktiknya, rekening yang digunakan untuk kegiatan ilegal seperti pencucian uang justru tidak pernah “tidur.” Dana di dalamnya cenderung berpindah-pindah dengan cepat, bertransaksi dalam jumlah besar, bahkan pada jam-jam tidak lazim. Rekening semacam ini aktif, dinamis, dan memiliki pola khas yang dapat dianalisis melalui pendekatan teknologi.
Sebaliknya, rekening yang benar-benar tidak aktif biasanya justru tidak digunakan untuk kejahatan apa pun. Banyak dimiliki oleh masyarakat biasa yang menabung secara musiman. Ada petani yang menyimpan hasil panen beberapa bulan sekali, pekerja informal yang menabung untuk kebutuhan besar, atau anak yang membuka rekening atas nama orang tuanya.
Mereka tidak bertransaksi secara rutin, bukan karena menyembunyikan sesuatu, tapi karena pola hidup dan keterbatasan akses. Bagi mereka, bank adalah satu-satunya tempat aman untuk menyimpan uang. Ketika rekening mereka diblokir hanya karena tidak digunakan selama 90 hari, rasa aman itu runtuh.
Lebih jauh, pendekatan ini kontraproduktif terhadap tujuan inklusi keuangan yang selama ini dicanangkan pemerintah. Masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses ke bank didorong untuk membuka rekening, menyimpan uang secara aman, dan bertransaksi digital. Tapi dengan kebijakan seperti ini, mereka yang sudah percaya pada sistem justru dirugikan. Mereka bisa kembali menyimpan uang di rumah atau dalam bentuk tunai, yang jelas lebih berisiko dan sulit diawasi.
Inkonsistensi juga muncul ketika kebijakan ini dihadapkan pada praktik perbankan itu sendiri. Di banyak bank, nasabah prioritas justru diminta untuk menyimpan dana dalam jumlah besar tanpa harus sering bertransaksi. Namun, jika PPATK menerapkan kebijakan “tiga bulan tidak aktif = diblokir,” maka nasabah semacam ini pun bisa terkena sasaran. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antarotoritas dalam melihat pola transaksi yang wajar di masyarakat.
Pertanyaan juga muncul mengenai transparansi dan perlindungan nasabah. Apakah rekening diblokir secara otomatis? Apakah nasabah diberi pemberitahuan sebelumnya? Apakah ada ruang untuk klarifikasi atau banding? Jika kebijakan ini dijalankan tanpa prosedur komunikasi yang baik dan mekanisme keberatan yang jelas, maka ini membuka ruang besar untuk ketidakadilan. Masyarakat yang tidak bersalah bisa kehilangan akses ke uangnya sendiri, tanpa tahu harus mengadu ke mana.
Lebih jauh, jumlah dana yang diblokir, Rp428 miliar, perlu dilihat secara proporsional. Jika dibandingkan dengan nilai kerugian negara akibat korupsi atau skandal keuangan besar seperti Jiwasraya, ASABRI, atau BTS Kominfo, angka ini relatif kecil. Dengan sumber daya terbatas yang dimiliki lembaga pengawas, langkah pemblokiran rekening pasif seperti ini justru terlihat seperti memburu target mudah, bukan menyasar pelaku utama.