Menjadi dewasa ternyata bukan soal akhirnya bisa beli rumah sendiri, menikah sebelum umur tiga puluh, atau dipanggil "Pak" di tempat kerja. Bukan itu. Kedewasaan, bagi sebagian orang, adalah momen ketika kita mampu diam, meski tahu dunia sedang bercanda kelewat batas.
Kita tumbuh dengan banyak ilusi. Bahwa kalau kita rajin, semua akan mudah. Bahwa kalau kita baik, hidup akan lunak. Bahwa kalau kita jujur, semuanya akan adil. Tapi waktu berjalan, dan satu per satu ilusi itu lepas seperti bulu ditiup angin. Kita mencoba mengejar, tapi dunia punya kecepatan sendiri. Kita jatuh, kita gagal, kita malu. Lalu kita belajar untuk tidak terlalu percaya pada dongeng.
Bukan berarti kita menyerah. Kita hanya mulai membentuk ilusi yang baru. Yang lebih realistis. Yang tidak lagi terlalu mengawang. Ilusi bahwa bahagia itu cukup dengan pulang ke rumah tanpa rasa takut. Bahwa sukses itu bisa tidur nyenyak tanpa gelisah. Bahwa menang bukan soal sorak penonton, tapi tentang tahu kapan berhenti meski masih sanggup lari.
Kita juga mulai akrab dengan kenyataan bahwa tidak semua usaha berbuah manis. Ada yang sudah berpeluh-peluh, tetap saja tersingkir. Sementara yang lain, yang punya koneksi atau kebetulan lahir di lingkaran yang "benar", bisa melaju tanpa perlu antre. Dunia memang begitu, dan kita mulai tidak lagi terkejut.
Kalau dulu kita mudah marah, sekarang kita hemat energi. Tidak semua hal layak diperjuangkan mati-matian. Kadang, menyerah bukan bentuk kekalahan, tapi cara menyelamatkan diri. Kita mulai paham: bertahan juga bentuk keberanian. Diam juga bentuk protes. Tidak semua perang perlu dimenangkan.
Ada kalanya, kita merasa kalah. Tidak punya pencapaian membanggakan. Gaji pas-pasan. Rumah masih kontrak. Reuni jadi momok karena tidak tahu harus jawab apa kalau ditanya, "Sekarang kerja di mana?" Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang tak kasat mata, ketenangan. Kita mungkin tidak punya banyak, tapi cukup. Kita tidak selalu bahagia, tapi tahu cara menghibur diri. Kita tidak hebat, tapi tulus. Dan ternyata itu cukup untuk bertahan.
Lucu ya, bagaimana hidup mempermainkan ekspektasi kita. Dulu kita ingin jadi orang penting, sekarang kita cuma ingin jadi orang yang tidak terlalu pusing. Dulu kita ingin diingat, sekarang kita ingin tenang. Dulu kita ingin jadi yang terbaik, sekarang kita ingin jadi diri sendiri saja, tanpa harus dibandingkan.
Kita tahu, tidak akan masuk daftar 30 under 30. Tidak akan viral karena prestasi. Tidak akan diwawancara media nasional. Tapi kita punya hal yang lebih penting: akal sehat yang masih utuh. Hati yang belum jadi batu. Dan empati yang tetap hidup di tengah dunia yang makin sinis.
Kadang kita kalah. Tapi itu bukan akhir cerita. Justru di sanalah kita mulai menang, dalam diam, dalam kesadaran, dalam bentuk-bentuk kecil yang tidak tercatat di CV atau media sosial. Seperti mampu memaafkan tanpa balasan. Mampu menolong tanpa pamrih. Mampu tersenyum meski hari sedang buruk.
Kita tidak lagi mencari panggung. Kita hanya ingin ruang. Ruang untuk bernapas, untuk menjadi diri sendiri, untuk hidup tanpa tekanan dari ekspektasi yang dibuat-buat. Dan perlahan, kita menemukan satu hal: bahwa kedewasaan bukan soal usia, tapi tentang cara kita mengganti ilusi, tanpa terlihat patah.
Karena ternyata, orang yang benar-benar tumbuh bukan yang paling banyak menang, tapi yang tahu bagaimana caranya kalah... dengan tetap bermartabat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI