Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seba Baduy dan Mitos Kemajuan yang Terbalik

5 Mei 2025   15:28 Diperbarui: 5 Mei 2025   15:28 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://regional.kompas.com/read/2023/01/21/212950478/ada-upacara-kawalu-baduy-dalam-ditutup-bagi-wisatawan-hingga-24-april-2023

Setiap awal Mei, bumi Banten seakan bergetar bukan oleh mesin atau festival gemerlap, melainkan oleh keteguhan langkah ribuan warga Baduy yang keluar dari leuweung, hutan keramat mereka, menuju Pendopo Bupati Lebak. Tanpa pengeras suara, tanpa panggung kehormatan, namun penuh khidmat, mereka menggelar prosesi Seba: tradisi purba yang lebih tua dari republik ini, lebih bijak dari banyak pidato pembangunan.

Sebanyak 1.769 warga Baduy Dalam dan Luar berjalan kaki dari Desa Kanekes, menghadap 'Bapak Gede', sebutan untuk pemimpin pemerintahan, membawa hasil bumi, bukan untuk dijual, tapi untuk diserahkan. Seba adalah bentuk silaturahmi, namun lebih dari itu, ia adalah deklarasi sikap budaya: bahwa masyarakat bisa hidup selaras dengan alam, cukup dengan hasil panen, cukup dengan tradisi.

Dalam era ketika pencapaian sering diukur lewat pertumbuhan ekonomi, investasi asing, dan angka ekspor, masyarakat Baduy menyodorkan definisi kemajuan yang membingungkan logika statistik. Mereka tidak punya menteri pertanian, tapi panen mereka tak pernah gagal. Tidak punya koperasi atau lembaga keuangan, tapi tidak ada kredit macet. Tidak punya dokter, namun jarang sakit. Tidak kenal vaksin, namun daya tahan mereka menakjubkan. Mereka tak berselancar di dunia digital, tapi komunikasi mereka tak pernah putus. Apakah itu keterbelakangan, atau justru bentuk tertinggi dari kemajuan?

Kita terbiasa mengasosiasikan kemajuan dengan Barat. Seolah hanya ketika seseorang berbicara Inggris lancar, berpakaian formal, dan duduk di ruang ber-AC, maka ia dianggap beradab. Tapi masyarakat Baduy, tanpa listrik, tanpa gadget, dan tanpa bangunan bertingkat, justru menjadi pengingat bahwa keberadaban bukan tentang teknologi, melainkan tentang harmoni. Dalam sunyi yang mereka jaga, tersimpan keteraturan sosial yang membuat banyak kota megapolitan terlihat seperti semesta yang gaduh.

"Gunung teu menang dilebur, Lebak teu menang diruksak," kata petuah adat Baduy yang dikutip oleh Bupati Lebak, Hasbi Asyidiki Jayabaya. Petuah itu bukan sekadar mantra konservasi, melainkan prinsip etika. Bahwa eksploitasi terhadap alam adalah bentuk kegagalan moral, bukan hanya ancaman ekologis. Di tengah krisis iklim, deforestasi, dan polusi mikroplastik, masyarakat Baduy tampil seperti cermin dari masa depan yang lebih lestari, ironisnya, lewat jalan masa lalu.

Jika kita jujur, kegagalan kita sebagai bangsa bukan karena kurangnya teknologi, tapi karena krisis makna. Kita membangun kota, tapi kehilangan komunitas. Kita punya gedung tinggi, tapi rapuh di akar nilai. Kita mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi lupa bertanya: untuk siapa? Sementara itu, Baduy menunjukkan model sosial yang tidak hanya cukup, tapi juga utuh. Mereka tahu siapa mereka, tahu apa yang penting, dan tahu bagaimana menjaganya agar lestari. Bukankah itu indikator tertinggi dari peradaban?

Prosesi Seba bukan sekadar acara seremonial. Ia adalah pernyataan politik dalam bahasa adat. Bahwa masyarakat adat tidak ingin hanya dijadikan ornamen wisata, tapi harus dihormati sebagai pemilik kebijaksanaan lokal. Hadirnya perwakilan DPR RI, kementerian, dan lembaga pusat dalam Seba tahun ini bukan semata bentuk penghargaan, melainkan ujian: apakah negara benar-benar mau belajar dari rakyatnya sendiri, atau hanya datang untuk berfoto?

Seba juga membongkar mitos kemajuan yang dibentuk oleh kapitalisme global. Selama ini kita terjebak pada paradigma bahwa maju itu berarti meninggalkan tradisi, menggantinya dengan industrialisasi, dan mengukur semua lewat uang. Tapi masyarakat Baduy membuktikan bahwa ketahanan pangan bisa dicapai tanpa pupuk kimia, bahwa kesehatan bisa dirawat tanpa rumah sakit, dan bahwa kesejahteraan bisa dibangun tanpa hutang.

Tentu, bukan berarti semua harus kembali ke hutan. Dunia memang terus bergerak, dan kita perlu teknologi untuk menghadapi tantangan zaman. Tapi dalam pusaran modernitas ini, ada nilai-nilai lokal yang jangan pernah kita lepaskan. Baduy tidak anti kemajuan, mereka hanya menolak kemajuan yang membunuh akar budaya. Kita pun seharusnya belajar membedakan antara perubahan yang memperkaya dan perubahan yang mencabut jati diri.

Sudah 75 tahun kita merdeka, tapi masih sering bingung mendefinisikan siapa kita. Kita terlalu sering meminjam narasi luar: kalau soal teknologi, kita menengok Barat; kalau soal agama, kita menoleh ke Timur Tengah. Seolah-olah Indonesia tidak punya narasi sendiri. Padahal, dalam langkah kaki warga Baduy menuju pendopo, dalam hasil bumi yang mereka serahkan tanpa pamrih, dalam petuah adat yang mereka ucapkan tanpa mikrofon, tersimpan blueprint untuk masa depan bangsa yang berakar kuat namun tetap lentur menghadapi zaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun