Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Paradoks Moral di Negeri Religius: Mengurai Fenomena Sugar Daddy di Indonesia

4 April 2025   18:06 Diperbarui: 5 April 2025   15:24 3657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh RDNE Stock project: pexels.com

Baru-baru ini, sebuah kasus yang melibatkan tokoh publik terkenal ramai diperbincangkan. Isu yang menyeret nama seorang mantan pemimpin daerah ini menyoroti kompleksitas hubungan antara pria berpengaruh dan perempuan muda dalam lanskap sosial Indonesia. Meskipun berbagai klarifikasi telah diberikan, sorotan publik terhadap kasus ini menunjukkan betapa fenomena semacam ini bukanlah hal yang asing di masyarakat.

Survei tahun 2021 oleh Seeking Arrangement mencatat bahwa Indonesia memiliki 60.250 sugar daddy, menempatkannya di peringkat kedua di Asia setelah India. Ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana fenomena ini bisa berkembang di negara yang dikenal dengan nilai-nilai moral dan religius yang kuat?

Fenomena ini mencerminkan ketimpangan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Bagi sebagian perempuan muda, menjalin hubungan dengan pria mapan dianggap sebagai jalan pintas menuju stabilitas finansial. Faktor seperti biaya hidup yang tinggi, akses terbatas ke pendidikan berkualitas, dan persaingan kerja yang ketat mendorong pilihan ini sebagai strategi bertahan hidup.

Selain itu, perubahan nilai dan ekspektasi sosial turut berperan. Media sosial menampilkan gaya hidup mewah yang sulit dicapai tanpa sumber daya finansial besar, mendorong sebagian individu mencari cara cepat untuk memenuhi standar tersebut. Hal ini menciptakan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang dalam hubungan, di mana pihak yang memiliki kontrol finansial lebih dominan, membuat negosiasi menjadi sulit dan meningkatkan risiko eksploitasi.

Dalam struktur masyarakat yang masih bias gender, laki-laki sering kali ditempatkan sebagai pihak yang harus berperan sebagai penyedia. Di sisi lain, perempuan yang tidak memiliki akses ekonomi setara bisa terjebak dalam pola ketergantungan. Ketika seorang perempuan mengandalkan seorang pria untuk kebutuhan finansialnya, dinamika kekuasaan dalam hubungan ini menjadi tidak seimbang. Dalam beberapa kasus, kondisi ini menciptakan hubungan yang sulit dinegosiasikan secara setara, menempatkan perempuan dalam posisi rentan.

Di luar aspek ekonomi, ada pula faktor perubahan nilai dan pola pikir dalam masyarakat modern. Di era digital, narasi tentang gaya hidup mewah lebih mudah diakses dan diidamkan. Media sosial dipenuhi dengan potret kehidupan glamor, perjalanan ke luar negeri, tas-tas desainer, dan restoran mahal. Hal ini menciptakan standar baru yang sering kali sulit dicapai tanpa sumber daya finansial yang besar. Akibatnya, relasi dengan pria mapan tidak lagi sekadar tentang kebutuhan ekonomi, tetapi juga tentang status sosial dan akses ke gaya hidup yang lebih tinggi.

Di sisi lain, fenomena ini juga berbenturan dengan hukum dan norma yang berlaku. Indonesia memiliki regulasi yang mengatur pernikahan dan perlindungan perempuan, tetapi praktik sugar dating sering kali berada di area abu-abu. Relasi ini bisa saja terjadi secara suka sama suka, tetapi dalam banyak kasus, ketimpangan kekuasaan dan ekonomi membuat perempuan lebih rentan terhadap eksploitasi. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, perempuan dalam relasi semacam ini bisa kehilangan kontrol atas kehidupannya.

Fenomena ini bukan hanya persoalan moralitas individu, tetapi cerminan dari ketimpangan ekonomi, perubahan nilai sosial, dan dinamika gender dalam masyarakat. Mengutuk atau menghakimi mereka yang terlibat dalam relasi ini tidak akan menyelesaikan masalah. Yang lebih penting adalah memahami akar permasalahan dan mencari solusi yang lebih adil. Jika akses terhadap pendidikan dan ekonomi lebih terbuka bagi perempuan, jika standar sosial tidak lagi menekan perempuan untuk mencapai stabilitas finansial melalui jalur pintas, maka fenomena ini mungkin tidak akan berkembang seperti sekarang.

Di balik angka yang mengejutkan, ada cerita-cerita manusia yang mencari cara untuk bertahan di dunia yang semakin kompleks. 

Pertanyaannya, apakah kita sebagai masyarakat lebih memilih untuk menutup mata dan berpura-pura bahwa fenomena ini tidak ada, atau mulai melihatnya sebagai refleksi dari sesuatu yang lebih besar, yang membutuhkan pemahaman dan solusi yang lebih mendalam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun