Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bukber di Masjid, Keakraban yang Tak Terduga

16 Maret 2025   21:42 Diperbarui: 16 Maret 2025   21:58 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi

Saya tidak punya rencana besar untuk buka puasa hari itu. Ambu dan anak-anak sudah lebih dulu berangkat ke acara bukber komunitas sekolah. Saya memilih untuk mencari tempat sholat yang nyaman, karena restoran yang mereka pilih tampaknya tak memiliki tempat ibadah yang memadai. Selain itu, menu yang disajikan kurang sesuai dengan selera saya. Jadi, saya memutuskan untuk mencari masjid terdekat untuk menunaikan sholat magrib, dan sekadar berbuka dengan makanan kecil yang saya beli sendiri.

Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi

Masjid Nurul Inayaat, atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Aubry, menarik perhatian saya. Letaknya strategis, suasananya terlihat tenang, dan dari kejauhan tampak beberapa orang duduk di serambi menunggu waktu berbuka. Saat masuk, saya melihat pihak masjid telah menyiapkan takjil: jajanan pasar, kurma, dan teh manis. Saya tidak mengambilnya, bukan karena tidak tertarik, tetapi karena merasa tak ingin merepotkan. Makanan yang disediakan sudah cukup untuk para jamaah, dan saya sudah membawa makanan sendiri.

Jadi, saya memilih berbuka di dalam mobil. Tidak ada yang istimewa, sekadar air mineral dan camilan ringan yang saya beli di perjalanan. Tapi bagi saya, itu sudah cukup untuk membatalkan puasa sebelum sholat magrib.

Begitu adzan berkumandang, saya bergegas masuk ke dalam masjid. Jamaah mulai memenuhi saf, dan suasana yang awalnya riuh dengan obrolan santai berubah menjadi khusyuk. Usai sholat, saat saya menoleh ke samping, seorang bapak yang duduk di sebelah saya tersenyum dan berkata, "Hayu, Pak."

Saya mengangguk sopan, membalas, "Mari, Pak," tanpa benar-benar mengerti maksudnya. Saya pikir itu hanya basa-basi, bentuk keramahan sesama jamaah yang akan segera beranjak dari masjid. Tapi, saat saya selesai berdoa dan bersiap keluar, saya melihat bapak tadi masih berdiri di dekat saya, menunggu.

Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi

Baru ketika saya melangkah ke teras masjid, saya mengerti. Sebuah antrean panjang sudah terbentuk rapi, jamaah dengan sabar menunggu giliran mengambil makanan. Rupanya, bapak itu tadi benar-benar mengajak saya untuk berbuka bersama, bukan sekadar sapaan singkat selepas sholat.

Tanpa ada aba-aba khusus, suasana berjalan begitu teratur. Tak ada dorongan, tak ada yang saling serobot. Semua menunggu dengan tenang, seolah mengerti bahwa makanan yang tersedia cukup untuk semua. Saat giliran saya tiba, saya melihat menu yang disediakan: nasi putih, bihun, gulai nangka, tahu, dan sepotong ayam goreng. Lebih dari sekadar cukup.

Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi
Masjid Nurul Inayaat (Masjid Aubry) Samarinda, sumber: dokumentasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun