Ketika anak muda kita terpapar film-film yang menormalisasi perubahan gender sebagai sesuatu yang glamor, tanpa disertai pemahaman yang utuh tentang agama dan budaya, apa yang akan terjadi pada generasi penerus? Ini bukan tentang takut pada perbedaan, melainkan tentang menjaga keseimbangan agar seni tidak menjadi alat untuk mendikte cara berpikir.
Pertanyaan terbesar adalah: Mau dibawa ke mana dunia perfilman kita? Apakah kita akan ikut terbawa arus Oscar yang semakin politis, atau justru menjadi mercusuar yang menunjukkan bahwa seni bisa mulia tanpa meninggalkan nilai-nilai ketimuran?Â
Kita punya Pancasila sebagai fondasi, sila pertama mengingatkan bahwa seni haruslah selaras dengan Ketuhanan. Seni bukan untuk memecah, tapi untuk mempersatukan; bukan untuk mengaburkan, tapi untuk mencerahkan.
Mungkin inilah saatnya bagi kita untuk tidak hanya menjadi penonton pasif. Setiap kali kita memilih film untuk ditonton, setiap kali kita berbicara tentang Oscar di warung kopi, kita sedang menentukan arah budaya.Â
Oscar 2025 mengajarkan satu hal: di tengah gempuran ideologi global, pertahanan terkuat kita adalah kesadaran bahwa seni sejati tak pernah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Ia hanya membutuhkan kejernihan hati untuk membedakan mana yang seni, dan mana yang hanya kedok politik.
Sebelum lampu panggung Oscar 2025 padam, mari kita renungkan: Jika seni harus dikorbankan demi narasi politik, lalu apa lagi yang tersisa dari kemanusiaan kita?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI