Di sebuah kafe di Jakarta, seorang eksekutif muda dengan laptop terbuka berbicara dengan penuh semangat tentang bagaimana perusahaannya sedang menyusun strategi pemasaran yang "berfokus pada Gen Z." Ia mengutip berbagai tren, dari kebiasaan belanja online hingga pola pikir inklusif yang katanya menjadi ciri khas generasi ini. Tidak jauh dari meja itu, seorang pria paruh baya menggelengkan kepala, merasa bahwa pemuda zaman sekarang terlalu manja dan tidak memahami arti kerja keras. "Ini semua gara-gara Millennial yang terlalu dimanja," gumamnya. Sebuah percakapan yang biasa terdengar, di dunia yang semakin terobsesi dengan label generasi.
Istilah seperti Baby Boomer, Gen X, Millennial, dan Gen Z telah meresap ke dalam keseharian kita. Media menggunakannya sebagai alat analisis sosial, perusahaan mengandalkannya dalam strategi pemasaran, dan bahkan kebijakan publik sering kali dirancang dengan asumsi bahwa setiap generasi memiliki karakteristik unik yang membentuk cara mereka bekerja, berpikir, dan berinteraksi. Namun, seberapa relevankah kategori ini bagi masyarakat Indonesia? Apakah label generasi yang lahir dari konteks sejarah dan sosial Barat dapat begitu saja diterapkan di negeri dengan dinamika yang jauh berbeda?
Ketika istilah Baby Boomer pertama kali muncul, ia merujuk pada gelombang kelahiran yang terjadi di Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II. Negara yang saat itu menikmati lonjakan ekonomi melihat peningkatan pesat dalam angka kelahiran, menciptakan generasi yang dibesarkan di tengah optimisme dan stabilitas. Namun, di Indonesia, tahun-tahun setelah perang justru ditandai oleh perjuangan kemerdekaan yang penuh ketidakpastian. Tidak ada ledakan kelahiran besar-besaran, melainkan kelahiran sebuah bangsa yang sedang mencari bentuknya sendiri. Jika ada yang disebut Baby Boomer di Indonesia, mereka adalah anak-anak yang tumbuh di masa transisi politik yang penuh gejolak, bukan di tengah kemakmuran seperti rekan-rekan mereka di Barat.
Begitu pula dengan Gen X, yang di Amerika Serikat dikaitkan dengan skeptisisme terhadap institusi dan bangkitnya budaya punk. Di Indonesia, mereka yang lahir pada 1970-an dan 1980-an mengalami sesuatu yang sangat berbeda: rezim Orde Baru yang mengontrol hampir setiap aspek kehidupan. Generasi ini tumbuh dalam lingkungan di mana kebebasan berekspresi dibatasi, di mana kritik terhadap pemerintah bisa berakibat fatal. Tidak ada "budaya pemberontakan" seperti yang dialami Gen X di Barat; yang ada adalah generasi yang belajar menavigasi sistem yang kaku sambil mencari cara untuk tetap bertahan.
Ketidaksesuaian ini semakin nyata ketika kita berbicara tentang Millennial dan Gen Z. Jika di Barat generasi ini tumbuh di era kebebasan informasi dan globalisasi yang pesat, di Indonesia, mereka menyaksikan Reformasi 1998 dan transisi dari Orde Baru ke era demokrasi. Mereka melihat orang tua mereka berjuang menyesuaikan diri dengan sistem ekonomi yang berubah, sementara mereka sendiri harus menghadapi ketidakpastian dunia kerja yang semakin kompetitif. Sementara di Amerika Serikat Gen Z sering digambarkan sebagai "digital native" yang lahir di tengah media sosial dan teknologi canggih, di banyak daerah di Indonesia, akses internet masih menjadi kemewahan. Seorang anak muda di Jakarta mungkin memang tumbuh dengan TikTok dan YouTube, tetapi di pelosok Papua, remaja seusianya lebih sibuk membantu orang tua di ladang daripada memikirkan tren digital.
Meskipun demikian, media dan lembaga riset terus menggunakan kategori generasi ini tanpa banyak mempertimbangkan konteks lokal. Hasilnya? Stereotip yang tidak akurat dan sering kali menyesatkan. Berapa kali kita mendengar bahwa "Gen Z itu malas dan hanya ingin bekerja fleksibel" atau "Millennial tidak mau berinvestasi karena lebih suka traveling"? Padahal, jika kita melihat lebih dekat, alasan di balik pilihan-pilihan ini sering kali lebih kompleks dari sekadar karakteristik generasi. Seorang Gen Z yang lebih memilih bekerja freelance mungkin bukan karena ia malas, tetapi karena peluang kerja formal semakin terbatas. Seorang Millennial yang enggan membeli rumah mungkin bukan karena lebih suka jalan-jalan, tetapi karena harga properti sudah melambung jauh di luar jangkauan.
Lebih dari sekadar menciptakan kesalahpahaman, pencangkokan istilah generasi ala Barat juga berdampak pada kebijakan dan strategi bisnis. Banyak perusahaan yang terobsesi meniru strategi pemasaran berdasarkan tren dari luar negeri tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya dan ekonomi di Indonesia. Kampanye yang dirancang untuk "Gen Z urban" sering kali gagal menjangkau mayoritas populasi yang berada di luar kota-kota besar. Studi akademis pun sering terjebak dalam kerangka generasi yang tidak sesuai, sehingga kesimpulan yang dihasilkan menjadi kurang relevan dengan realitas sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Langkah pertama adalah menyadari bahwa pembagian generasi bukanlah sebuah kebenaran mutlak, melainkan konstruksi sosial yang bisa dan seharusnya disesuaikan dengan konteks masing-masing negara. Beberapa negara telah mulai melakukan ini. Jepang, misalnya, memiliki istilah "Shinjinrui" untuk menggambarkan generasi muda yang berbeda dengan orang tua mereka dalam cara berpikir dan bertindak. Korea Selatan memiliki "386 Generation," merujuk pada aktivis yang berjuang di era 1980-an. Indonesia pun seharusnya bisa mengembangkan istilahnya sendiri, yang lebih mencerminkan pengalaman kolektif anak-anak bangsa dalam menghadapi perubahan zaman.
Namun, lebih dari sekadar menciptakan istilah baru, kita juga perlu mengubah cara kita memahami generasi. Daripada terobsesi dengan label dan kategori, lebih baik kita fokus pada faktor-faktor nyata yang membentuk cara berpikir dan bertindak setiap kelompok usia. Peristiwa politik, kebijakan ekonomi, akses pendidikan, dan transformasi budaya jauh lebih berpengaruh dibandingkan sekadar tahun kelahiran seseorang. Dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan mendalam, kita bisa memahami generasi kita sendiri tanpa harus bergantung pada definisi yang dibuat oleh dunia Barat.
Generasi bukan sekadar label. Mereka adalah kisah yang hidup, terus berkembang, dan tidak bisa disederhanakan hanya dalam rentang tahun atau karakteristik yang seragam. Jika kita benar-benar ingin memahami perubahan sosial, kita harus bersedia melihat lebih dalam, mendengarkan lebih banyak, dan menggali lebih jauh dari sekadar kategori yang telah dibuat oleh orang lain. Karena di akhir cerita, setiap generasi memiliki kisahnya sendiri, dan kisah itu layak diceritakan dengan cara yang benar.