Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jurus Pukulan Matahari: Kunci Menguasai Ilmu di Era Digital

21 Februari 2025   14:59 Diperbarui: 21 Februari 2025   15:06 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Jessica Lewis 🦋 thepaintedsquare: https://www.pexels.com/id-id/foto/boy-memakai-headset-realitas-virtual-hitam-putih-3405456/ 

Dalam dunia persilatan, ada satu tokoh yang terkenal karena kemampuannya menguasai berbagai ilmu dengan cepat: Zhang Wuji, atau Tio Buki dalam versi Hokkien. Dalam novel Kisah Pedang Langit dan Golok Pembunuh Naga karya Jin Yong, Zhang Wuji memiliki keunggulan karena telah menguasai "Jurus Pukulan Matahari", sebuah dasar energi dalam yang membuatnya mampu memahami dan menyerap berbagai jurus silat dengan mudah. Analogi ini menarik jika diterapkan dalam konteks modern: literasi dan numerasi adalah "Jurus Pukulan Matahari" di era digital.

Di tengah arus teknologi yang berkembang pesat, setiap individu di berbagai profesi dihadapkan pada tuntutan untuk terus beradaptasi. Digitalisasi administrasi, penggunaan kecerdasan buatan, serta transformasi cara bekerja membuat penguasaan teknologi menjadi keharusan. Namun, seberapa cepat seseorang mampu mengikuti perubahan ini bergantung pada fondasi literasi dan numerasi yang dimilikinya. Semakin kuat fondasi tersebut, semakin mudah seseorang beradaptasi dengan perubahan yang tak terhindarkan.

Kemampuan numerasi melatih logika berpikir, memungkinkan seseorang memahami pola, menyusun analisis, dan mengambil keputusan berbasis data. Di sisi lain, literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup pemahaman terhadap informasi yang kompleks serta berpikir kritis terhadap berbagai sumber. Ketika dua kemampuan ini dikuasai, seseorang akan lebih mudah beradaptasi dengan berbagai teknologi baru. Seorang pekerja di bidang keuangan dengan numerasi yang baik akan lebih cepat memahami sistem analisis data, sedangkan seorang kreator konten dengan literasi tinggi mampu menyusun narasi yang menarik dan informatif tanpa merasa kewalahan.

Perbedaannya sangat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ada orang tua yang masih gagap menggunakan gawai meski sudah berulang kali diajarkan, sementara ada juga lansia yang dengan mahir memanfaatkan media sosial untuk berbagi wawasan, membangun komunitas, atau bahkan menjalankan bisnis daring. Yang membedakan bukan sekadar usia, tetapi fondasi berpikir yang mereka miliki. Orang tua yang sejak awal memiliki kebiasaan membaca, memahami informasi dengan baik, dan terbiasa berpikir logis akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan teknologi baru dibandingkan mereka yang tidak terbiasa dengan proses belajar berbasis analisis. Sebaliknya, tanpa kemampuan literasi dan numerasi yang memadai, seseorang bisa merasa tertinggal dalam dunia digital yang terus bergerak maju.

Namun, ironisnya, pendidikan kita sering kali masih tertinggal dalam membekali anak-anak dengan keterampilan yang mereka butuhkan di masa depan. Anak-anak yang hidup di era digital seharusnya diberikan fondasi berpikir yang memungkinkan mereka beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang terus berubah. Sayangnya, kurikulum yang diterapkan masih banyak berfokus pada konsep-konsep lama yang kurang relevan. Misalnya, dalam ilmu komputer, anak-anak masih diperkenalkan pada bagian-bagian komputer seperti CPU, keyboard, dan mouse, padahal hal yang lebih penting untuk masa depan mereka adalah pemahaman dasar tentang logika, prinsip coding, dan cara berpikir komputasional. Pendidikan yang hanya mengajarkan masa lalu tidak akan mampu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan yang belum kita bayangkan sebelumnya.

Jika kita ingin anak-anak memiliki daya saing di masa depan, kita harus mulai mengajarkan keterampilan yang benar-benar berguna. Kemampuan memahami data, berpikir kritis, dan menyusun algoritma sederhana jauh lebih penting dibandingkan sekadar mengenali fungsi perangkat keras komputer yang sebagian besar sudah tergantikan oleh teknologi yang lebih canggih. Di banyak negara maju, anak-anak sudah diperkenalkan dengan pemrograman sejak dini, bukan untuk menjadikan mereka semua sebagai programmer, tetapi untuk melatih pola pikir logis yang bisa diterapkan di berbagai bidang.

Foto oleh Jessica Lewis 🦋 thepaintedsquare: https://www.pexels.com/id-id/foto/boy-memakai-headset-realitas-virtual-hitam-putih-3405456/ 
Foto oleh Jessica Lewis 🦋 thepaintedsquare: https://www.pexels.com/id-id/foto/boy-memakai-headset-realitas-virtual-hitam-putih-3405456/ 

Tanpa literasi dan numerasi yang kuat, seseorang bisa terjebak dalam ketergantungan pada teknologi tanpa memahami prinsip dasarnya. Ini sama seperti pendekar yang mengandalkan senjata tanpa benar-benar menguasai ilmu silatnya. Ia mungkin bisa bertahan sesaat, tetapi tidak memiliki fleksibilitas untuk menghadapi berbagai tantangan baru. Dalam konteks pekerjaan, individu dengan literasi dan numerasi yang lemah lebih sulit menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, terhambat dalam pengambilan keputusan, dan kesulitan menyaring informasi yang valid di tengah lautan data yang tersedia.

Kita tidak bisa memprediksi dunia seperti apa yang akan dihadapi anak-anak kita kelak. Teknologi yang saat ini masih dalam tahap perkembangan bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka di masa depan. Apakah mereka akan menghadapi revolusi kecerdasan buatan yang lebih maju? Apakah sistem ekonomi dan pekerjaan akan berubah drastis? Tidak ada yang tahu pasti. Namun, satu hal yang jelas: mereka harus memiliki keterampilan untuk berpikir adaptif, memahami pola perubahan, serta mampu mengevaluasi dan menggunakan informasi dengan bijak. Dengan kata lain, mereka harus memiliki "Jurus Pukulan Matahari" mereka sendiri untuk bertahan dan berkembang dalam dunia yang penuh ketidakpastian.

Oleh karena itu, investasi dalam literasi dan numerasi sejak dini adalah kunci agar masyarakat dapat menjadi pembelajar yang adaptif. Dunia digital bukan sekadar tentang perangkat lunak dan aplikasi, tetapi tentang bagaimana kita memahami, mengolah, dan menerapkan informasi dengan bijak. Seperti Zhang Wuji yang menjadi pendekar hebat setelah menguasai dasar ilmu dalamnya, individu yang memiliki literasi dan numerasi yang kuat akan lebih siap menghadapi masa depan yang terus berubah. Jurus utama dalam dunia modern ini bukan lagi pukulan matahari secara harfiah, melainkan kemampuan berpikir yang tajam dan fleksibel dalam memahami serta memanfaatkan teknologi. Jika kita ingin generasi mendatang siap menghadapi dunia yang tidak dapat kita bayangkan saat ini, kita harus memberikan mereka kunci utama untuk membukanya: literasi dan numerasi yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun