Pernahkah Anda merasa bahwa terlalu menonjol bisa membawa masalah? Bahwa ada batas tak kasat mata yang membuat orang segan untuk terlalu menampakkan keberhasilan? Sebaliknya, di era digital, pamer kesuksesan justru menjadi standar baru. Dua kutub yang berlawanan ini membawa kita pada konsep Janteloven, sebuah nilai yang menolak individualisme berlebihan, dan bagaimana realitasnya bersinggungan dengan budaya flexing di Indonesia.
Janteloven: Hukum Tak Tertulis yang Menekan Individualisme
Di suatu desa kecil di Norwegia, seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang tenang. Tak ada rumah yang terlalu mencolok, tak ada mobil mewah yang dipamerkan. Di sekolah, anak-anak diajarkan bahwa mereka bukan yang paling pintar, paling berbakat, atau paling penting. Mereka hanyalah bagian dari komunitas. Mentalitas ini bukanlah sekadar kebiasaan, melainkan prinsip yang dikenal sebagai Janteloven, seperangkat norma sosial yang menekankan kesetaraan, kolektivisme, dan kesederhanaan.
Aksel Sandemose, seorang penulis Denmark-Norwegia, pertama kali memperkenalkan konsep ini dalam novel En flyktning krysser sitt spor (1933). Sepuluh aturan Janteloven dengan tegas menolak gagasan bahwa seseorang lebih baik dari yang lain. Di negara-negara Skandinavia, konsep ini menciptakan masyarakat yang lebih egaliter. Tidak ada dorongan untuk menonjol, tetapi juga tidak ada tekanan untuk bersaing secara agresif.
Namun, di balik manfaatnya, Janteloven juga punya sisi kelam. Ketika seseorang mencoba melampaui batas norma sosial, mereka kerap dianggap arogan. Di tempat kerja, inovasi bisa terhambat karena tak ada yang berani terlalu menonjol. Anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang menekan ambisi berlebihan, tetapi di sisi lain, mereka juga belajar menghargai komunitas di atas kepentingan pribadi.
Indonesia: Di Antara Gotong Royong dan Flexing
Jauh dari negeri-negeri Nordik, Indonesia punya warisan nilai-nilai yang tak jauh berbeda. Dalam budaya Jawa, ada konsep tepa selira, di mana seseorang diajarkan untuk menjaga harmoni sosial, tidak menonjol berlebihan, dan selalu mempertimbangkan perasaan orang lain. Gotong royong juga menjadi inti dari masyarakat Indonesia, mementingkan kebersamaan daripada pencapaian individual.
Namun, ada perbedaan mendasar. Jika di Skandinavia kesetaraan dijaga melalui kebijakan kesejahteraan sosial yang kuat, di Indonesia kesenjangan masih mencolok. Dalam masyarakat kita, keberhasilan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang harus dirayakan  dan di era media sosial, perayaan itu berubah menjadi flexing.
Di Instagram, TikTok, dan YouTube, pamer kekayaan dan gaya hidup mewah menjadi tontonan sehari-hari. Mobil sport, rumah mewah, dan barang branded berseliweran di layar ponsel. Flexing telah menjadi mata uang sosial yang meningkatkan status seseorang. Sementara di Norwegia seseorang akan ditegur karena terlalu pamer, di Indonesia, justru mereka yang tidak menunjukkan pencapaian bisa dianggap tidak sukses.
Ketegangan Antara Kesederhanaan dan Pameran Kekayaan
Ada ketegangan yang menarik di sini. Di satu sisi, Indonesia masih memiliki mentalitas Janteloven versi lokal, orang yang terlalu menonjol sering kali dicibir sebagai "sombong" atau "tinggi hati." Di lingkungan kerja, seseorang yang terlalu vokal bisa dianggap "cari muka." Namun, di sisi lain, ada pula dorongan kuat untuk menampilkan kesuksesan, terutama di kalangan generasi muda.
Fenomena ini menciptakan paradoks. Masyarakat ingin kesederhanaan, tetapi juga menghargai pencapaian yang terlihat. Kita mencibir orang yang terlalu pamer, tetapi diam-diam mengagumi mereka yang berani menunjukkan keberhasilannya. Seolah-olah, kita terjebak antara warisan budaya gotong royong dan tren global flexing.