Mohon tunggu...
Noer Fitrianto Priyo
Noer Fitrianto Priyo Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Psikoterapis dan Coach yang juga bekerja sebagai Business Developer dan Business Operational Administration dalam sebuah Perusahaan Counseling dan Coaching

Saya adalah seseorang yang sangat menyukai Psikologi. Saya telah mengambil diploma di Psikoterapi, Counselling dan Coaching dengan pendekatan Psikologi Transpersonal, Pendekatan Masterson post-Freudian, Jungian Psychotherapy dan Somatic Psychotherapy. Selain itu secara akademis saya sedang menjalani Magister Psikologi Sains di peminatan Psikologi Industri & Organisasi. Hobi saya adalah bermain musik dan membaca buku.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenal Budaya Perilaku "Amae" Melalui "Self"

1 Desember 2023   10:22 Diperbarui: 1 Desember 2023   10:38 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Terkadang, saat tengah malam, saat kita sedang sendirian, kita bertanya-tanya kepada diri sendiri, “siapakah saya?”. Tipe pertanyaan ini pertama kali dibuat oleh Kuhn & McPartland (1954) yang dinamakan dengan “Twenty-Statements Test”, yang dapat mengukur self-concept atau self-identity seseorang. Pertanyaan ini sangat penting bukan hanya ditujukan kepada diri sendiri yang dapat menjawab pertanyaan eksistensial kita, namun juga dapat ditujukan kepada sifat alamiah terhadap konsep diri dan juga pondasi terhadap identitas diri.

Pertanyaan ini melahirkan sebuah penelitian oleh Ma & Schoeneman (1997), dimana kebanyakan seseorang yang terdampak oleh kultur dari barat menaruh self-concept atau self-identity mereka dengan karakteristik personal mereka, sedangkan bagi seseorang yang tidak terdampak oleh kultur dari barat menaruh self-concept atau self-identity mereka dengan peran serta keanggotaan yang mereka miliki.
Maka menurut Markus dan Kitayama (1991), ada dua cara bagi seseorang untuk menaruh self-concept atau self-identity nya, yaitu independent view of self dan interdependent view of self

Independent view of self menekankan pada identitas mereka yang didapat dari karakteristik personalnya yang menjadi dasar dari identitas seseorang. Karakterisik personal ini dilihat sebagai sesuatu yang stabil dalam berbagai macam situasi dan sepanjang umur dan dapat dipersepsikan sebagai sesuatu yang unik dalam seorang individu. Di lain hal, interdependent view of self menekankan pada identitas seseorang yang secara fundamental terhubung serta dipertahankan oleh hubungan-hubungan yang signifikan dengan orang lain. Dengan sudut pandang interdependent view of self ini, maka seseorang tidak dipersepsikan terpisah dan merupakan individu yang berbeda dari orang lain, namun sebagai partisipan dalam ruang lingkup social yang lebih besar.

Jika berbicara mengenai kultur individualism dan kolektivism, maka independent view of self dapat dikatakan sebagai bagian dari kultur individualisme, karena lebih mengelaborasi aspek-aspek independen yang unik dari diri mereka sendiri jika dibandingkan orang lain, dan mereka merasa unik dan berbeda dari yang lain. Sementara, interdependent view of self dapat dikatakan sebagai bagian dari kultur kolektivism, karena biasanya dalam kultur ini anak-anak tidur bersama orang tua mereka, edukasi anak-anak pun ditentukan oleh keluarga dan pernikahan ditentukan oleh orang tua.

Geert Hofstede, seorang psikolog asal Belanda, dipekerjakan oleh IBM untuk membagikan kuesioner-kuesioner kepada 117.000 karyawan IBM di berbagai macam kantor-kantor IBM dalam ruang lingkup 40 negara yang berbeda untuk tujuan menilai ketertarikan dan opini-opini dari para karyawan-karyawan tersebut. Disela-sela nya, Hofstede juga mengikutsertakan butir pertanyaan kuesioner yang bertujuan mengeksplorasi nilai-nilai terkait individualisme. 

Pada akhirnya, Hofstede dapat memetakan dunia dalam konteks individualismenya. Berdasarkan data dari Hofstede, negara dengan nilai individualism yang paling tinggi adalah Amerika Serikat, diikuti oleh negara-negara lain yang berbahasa Inggris dan negara-negara Eropa bagian barat. Namun, negara-negara yang memiliki nilai kolektivism tinggi atau dapat dikatakan nilai individualism nya rendah ialah negara-negara di Amerika Latin dan Asia. Studi lain juga menemukan bukti bahwa Asia, Afrika, Eropa bagian selatan, Eropa bagian timur dan negara-negara Pasifika Selatan juga memiliki nilai kolektivism yang tinggi. (Hofstede, 1983; Schwartz, 1994; Verkuyten & Masson, 1996). Dapat ditemukan bahwa lebih dari 80% populasi dunia adalah dapat dikategorikan kedalam interdependent view of self pada individunya atau kultur kolektivism.

Penemuan oleh Hofstede bahwa 80% populasi dunia merupakan interdependent view of self dan masuk ke dalam kultur kolektivisme menggugah sebuah pertanyaan. Apa yang mendasari mekanisme interdependent view of self atau kultur kolektivism ini? Apakah anteseden dari interdependent view of self atau kultur kolektivism ini? Dan kalau di konsepkan dan didefinisikan, maka apa nama lain dari interdependent view of self atau kultur kolektivism ini? Dan di budaya apa dapat kita temukan fenomena interdependent view of self atau kultur kolektivism ini?

Takeo Doi, seorang psikoanalis asal Jepang menamakan konsep lain dari interdependent view of self ini sebagai amae dalam bukunya "the anatomy of dependence". Amae diambil dari kosakata bahasa Jepang yang berarti sweet / manis, sedangkan setelah diterjemahkan menjadi bahasa Inggris dapat berarti playful atau babyish behaviour yang artinya bermain-main atau berperilaku seperti anak bayi. Mentalitas Amae didefinisikan sebagai upaya untuk menyangkal fakta separasi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan manusia dan untuk menghilangkan rasa sakit karena separasi dan amae dipertimbangkan sebagai aspek fundamental dalam psikologi rakyat Jepang sejak dahulu kala (Doi, 1973). Behrens (2004) pun menambahkan bahwa amae dapat dideskripsikan sebagai konsep yang berasal dari orang Jepang asli mengenai keterkaitan. Doi (1973) menekankan hubungan ibu-anak sebagai prototipe dari hubungan amae sepanjang hidup umur seseorang dan menambahkan bahwa amae menumbuhkan rasa kesatuan antara seorang ibu dan anak.

Taketomo (1986) melengkapi dan menambahkan dari literatur Doi (1973) bahwa Doi kehilangan fitur mekanisme metakomunikal dari amae itu sendiri, yang diungkapkan oleh Taketomo bahwa adanya mekanisme amaeru dan amayakasu dalam amae. Saat seorang anak secara playful meniru perilaku seorang infant, maka anak tersebut tidaklah menjadi infant seperti yang dikatakan oleh Doi. Namun, dengan perilaku tersebut sang anak berusaha untuk mengkomunikasikan kepada ibunya bahwa ia menginginkan amaeru dan menginginkan ibunya untuk melakukan amayakasu kepadanya.  Taketomo setuju dengan Doi bahwa amae yang memiliki unsur infantil merupakan prototipe, namun Taketomo lebih berfokus pada fenomena amae yang terjadi pada masa anak anak dan masa dewasa, tidak hanya masa infantil. Contoh pada masa dewasa yang dijabarkan oleh Taketomo adalah saat seorang wanita dewasa berperilaku secara playful seperti seorang infant, dengan kata lain, wanita dewasa tersebut meniru anak yang juga meniru perilaku perilaku amae.

Maruta (1992) berargumen dan mengkritik Doi bahwa Doi hanya berfokus kepada anak yang menginginkan amaeru, dan mengabaikan peran ibu yang ingin amayakasu. Infant ataupun sang ibu dapat menginisiasi proses amae dengan tujuan memperbarui intimasi ataupun rasa aman. Maruta mengatakan bahwa amae yang sukses adalah ketika hal tersebut menimbulkan kenikmatan untuk kedua pihak, yakni untuk menciptakan rasa nyaman yang mutual antara kedua belah pihak. Maruta menambahkan bahwa mempelajari sesuatu yang nyaman secara mutual merupakan bagian signifikan dalam berkembang dan bertumbuh untuk bertahan hidup di Jepang, tentu hal ini dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya Jepang, karena berkaitan dengan definisi operasional budaya yakni “the way we do things here and now”.
Watanabe (1992) mengklaim saat seorang ibu melakukan amayakasu kepada anaknya, dan alhasil memenuhi kebutuhan sang anak, dapat menjadi sebuah keuntungan bagi sang anak karena anak akan merasa aman. Namun dapat menjadi berbahaya dan tidak membuat rasa nyaman pada anak ketika sang ibu melakukan amayakasu untuk memenuhi kebutuhan ego sang ibu. Watanabe membedakan amae yang terjadi saat anak anak dengan amae yang terjadi pada orang dewasa, yakni ekspektasi sosial dan obligasi perlu untuk dipenuhi agar amae dapat termanifestasi.

Johnson (1993) membuat sebuah ulasan komprehensif mengenai konsep amae yang didalamnya terdapat ulasan teliti dan menyeluruh mengenai kedalaman dan kompleksitas amae dalam tingkatan antropologis, filosofis dan psikologis. Beberapa poin-poin kunci ringkasannya adalah bahwa amae berada di dalam wilayah yang lebih luas daripada hubungan dependen ataupun interdependen. Amae diidentifikasi oleh Doi sebagai dorongan, keinginan ataupun motif dasar pada diri manusia. Amae mengkonstitusikan ekspresi kultural Jepang mengenai dependensi yang bersifat memanjakan seseorang, dan versi-versi lain dari dinamisme ini mengambil bentuk bentuk berbeda dalam kultur-kultur yang berbeda secara universal. Dependensi dan interdependensi pada konteks amae dapat diamati sepanjang hidup seseorang. Amae bukanlah fenomena yang simple, karena dapat diperiksa melalui berbagai macam tingkatan pengalaman subjektif dan perilaku subjektif seseorang. Maka tentunya dari hasil ulasan komprehennsif Johnson (1993) ini dapat dikatakan bahwa amae dapat dikaji dan diaplikasikan tidak hanya dalam ruang lingkup yang sempit, namun lebih luas lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun