Beberapa hari lalu saya mengobrol dengan seorang kolega di kantor. Katanya, rumah adalah cerminan penghuninya. Jika rumah terkesan gelap dan pengap, maka penghuninya cenderung emosional atau menutup diri.
Sebaliknya, jika suasana rumah terasa terang dan penuh kehangatan, karakter orang yang tinggal di dalamnya biasanya ceria dan terbuka. Begitu keyakinan sejawat saya yang lahir dan besar di Pulau Dewata.
Dalam hati, saya berpikir. Anggapan rekan saya itu banyak benarnya juga. Sebab kondisi rumah sangat bergantung pada aktivitas penghuninya. Jikalau diposisikan hanya sebagai tempat singgah tanpa perawatan optimal, niscaya rumah cepat rusak.
Debu dan sampah bertebaran. Daun-daun kering berhamburan. Genteng bocor dibiarkan. Kalau sudah begitu, alamat jadi sarang nyamuk, kecoak, dan laba-laba. Aih, amit-amit jabang bayi!
Lain halnya manakala kita memperlakukan rumah sebagai tempat tinggal. Kita selalu mengisi aktivitas di rumah dengan segala kebaikan. Tatkala kotor sedikit perasaan langsung tidak enakan. Lekas-lekas ambil sapu dan kain pel untuk dibersihkan.
Apalagi menjelang Lebaran. Rumah yang kita tempati bakal dikunjungi banyak orang. Mulai dari sanak keluarga hingga kumpulan para tetangga. Malu, dong, kalau kondisi rumah berantakan bak kapal pecah diterpa badai lautan.
Berkaitan dengan kebersihan, umat muslim sering mendengar adagium kebersihan adalah sebagian dari iman. Pendapat ini tepat sebab Islam memang mengajarkan umatnya agar mencintai kebersihan.
Bahkan kebersihan merupakan bagian dari ibadah itu sendiri. Ketika hendak menunaikan salat, kita diwajibkan untuk berwudu terlebih dahulu. Mensucikan diri agar bersih dari najis sebelum memanjatkan doa kepada Sang Pencipta.
Saking pentingnya kebersihan sampai-sampai Nabi Muhammad SAW mengatakan “Kesucian itu adalah setengah dari iman.” Kita bisa menemui kalimat itu dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.