Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Pendidikan: Solusi Melahirkan Kebiasaan Tanggap Bencana

20 September 2019   23:51 Diperbarui: 23 September 2019   15:22 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebiasaan tanggap bencana bisa menyelamatkan banyak korban jiwa. Foto: Global Education.

Kesadaran bermuara pada tindakan. Tindakan berulang akan melahirkan kebiasaan. Dalam konteks kebencanaan, kebiasaanlah yang akan menyelamatkan nyawa banyak orang.

***

Beberapa waktu lalu, saya iseng membuat riset kecil-kecilan. Saya penasaran, seberapa siapkah kita dalam menghadapi bencana alam. Melalui WA, saya mengirim pertanyaan terbuka kepada 23 orang teman yang berkantor di Jakarta.

"Gempa mengguncang Jakarta. Anda sedang bekerja di lantai 20. Apa yang akan Anda lakukan untuk menyelamatkan diri?"

Hasilnya cukup membuat saya tergelitik: 91 persen menjawab langsung berlari ke tangga darurat. Sisanya menjawab bersembunyi di bawah meja. Evakuasi baru dilakukan saat keadaan sudah kembali normal.

Andai gempa benar-benar terjadi, maka hanya 2 orang kawan yang punya harapan selamat tinggi. Sisanya tidak. Malah justru berpotensi menambah jumlah korban.

Analoginya begini. Saat gempa masih berlangsung lalu semua orang berebut masuk ke tangga darurat, kepanikan pasti merebak. Naluri manusia akan mengalahkan akal sehat. Saling sikut, saling injak, atau minimal dorong-mendorong, tiada terelakkan.

Hasilnya bisa kita terka. Cedera atau korban jiwa, bukan hanya diakibatkan karena gempa, tetapi juga karena kepanikan jiwa-jiwa yang berada di lokasi bencana. Dan, itu bermula dari salah kaprah dalam bertindak. Kekeliruan yang bukan hanya mengancam keselamatan diri sendiri, tetapi juga orang lain.

Oke. Saya memang sekadar iseng. Saya juga paham, hasil riset saya tidak bisa menjadi tolok ukur kesiapsiagaan kita dalam menghadapi bencana. Akan tetapi, saya juga berhak berandai-andai atau menerka-nerka. Jikalau benar adanya, maka tingkat kesiapan kita menghadapi bencana sangat rendah.

Pertanyaannya, mengapa bisa salah? Sebelum menjawab, ada baiknya kita cermati hasil kajian Lally dkk. (2010) bertajuk How are Habits Formed: Modelling Habit Formation in The Real World.

Untuk mengetahui bagaimana kebiasaan (habit) bisa timbul dari dalam diri manusia, Lally meminta 96 responden agar tidak melewatkan sarapan selama 12 minggu berturut-turut. Hasilnya, 82 responden merasa aneh ketika diminta untuk meninggalkan sarapan pada minggu ke-13.

Dari percobaan itu, Lally menyimpulkan bahwa kebiasaan tidaklah terjadi begitu saja. Kebiasaan adalah buah dari tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam rentang waktu tertentu.

Kebiasaan tidak serta-merta tercipta hanya karena "sadar" akan pentingnya sarapan, tetapi karena "sudah terbiasa" sarapan. Kalau sudah terbiasa, tanpa mencari tahu apa manfaatnya, manusia akan bertindak hal yang sama.

Budaya Sadar Bencana Saja Tidak Cukup

Dalam konteks kebencanaan, budaya sadar bencana saja tidak cukup. Ia harus dipupuk dengan tindakan berulang agar melahirkan suatu kebiasaan. Kalau tidak, akibatnya bisa fatal. Sebab kebiasaanlah yang akan memitigasi kita dari risiko bencana.

Itu terbukti ketika saya bertanya kepada 21 orang kawan yang memberi jawaban keliru. Menurut pengakuan mereka, pelatihan tanggap bencana gempa bumi hanya dilakukan satu tahun sekali. Setengahnya bahkan hanya mendapat paparan teori, bukan simulasi.

Kalau seperti itu cara kita menghadapi bencana, maka tidak heran apabila Indonesia dinobatkan sebagai negara paling banyak menelan korban jiwa akibat bencana alam setelah Haiti dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.

Sekira 187 ribu orang meninggal dunia akibat bencana dalam kurun waktu tersebut. Paling banyak terjadi ketika tsunami Aceh pada 2004 yang menelan sedikitnya 166 ribu korban jiwa.

Lantas, apakah kita sudah belajar dari peristiwa nahas tersebut?

Rasanya belum banyak. Sebab data BNPB menyebut rata-rata jumlah korban jiwa dalam 10 tahun terakhir masih sangat tinggi, yakni mencapai 1.100 jiwa setiap tahun. Hingga Agustus 2019 saja, ada sekitar 402 orang meninggal dunia dan 27 orang dinyatakan hilang akibat bencana.

Ingat, data di atas baru membahas korban jiwa. Belum korban luka atau warga yang terdampak akibat bencana. Kalau mau dihitung, jumlahnya tidak kalah mengejutkan.

Dalam tempo 10 tahun terkini, rata-rata korban luka akibat bencana mencapai 7.199 jiwa per tahun. Yang menderita? Lebih banyak lagi: 2,39 juta jiwa per tahun.

Padahal, kita sama-sama paham bahwa negeri ini berpijak pada tiga lempeng tektonik dunia: Australia, Pasifik, dan Eurasia. Oleh karenanya, Indonesia menjadi sangat rawan terhadap gempa bumi, tsunami, gunung berapi, hingga tanah longsor.

Belum lagi, risiko hidrometeorologi terus menghantui akibat posisi kita yang tepat berada di garis Khatulistiwa. Itu berarti, tendensi terjadinya banjir, kekeringan, cuaca ekstrem, abrasi, hingga kebakaran hutan---seperti yang kita alami saat ini---sangatlah tinggi.

Dari berbagai jenis bencana alam tersebut, banjirlah yang paling sering terjadi dan menelan banyak korban jiwa. Hingga Agustus 2019 saja, ada 542 bencana banjir yang terjadi di Nusantara. Sebanyak 289 meninggal dunia karenanya. Itu artinya, 78 persen korban jiwa disebabkan oleh banjir.

Yang paling parah, terjadi pada banjir Sentani, Papua. Ada 104 korban jiwa dan 79 orang dinyatakan hilang pada bencana yang terjadi bulan Maret lalu. Hampir 10 ribu orang mengungsi akibat 375 rumah rusak berat. Pendidikan lumpuh, aktivitas ekonomi terganggu. Kini, warga Sentani megap-megap untuk bangkit kembali.

Bencana banjir di Sentani, Papua. Foto: BBC.
Bencana banjir di Sentani, Papua. Foto: BBC.
Kalau mau jujur, kesalahan kita bukanlah terletak pada ketidakmampuan atau ketidakakuratan dalam menduga bencana. Sejak akhir tahun lalu, BNPB telah memprediksi bahwa 95 persen bencana alam berasal dari hidrometeorologi. Sebuah prediksi yang, sayangnya, kini sudah terbukti.

Hanya saja, tampaknya kita masih ogah mempersiapkan diri. Persis seperti kejadian tsunami Banten pada akhir 2018 lalu. Setelah semuanya terjadi, barulah viral di media sosial hasil kajian Geological Society of London yang telah memprediksi terjadinya tsunami Selat Sunda sejak enam tahun lalu.

Ketidaksiapan kita menghadapi bencana juga bukan diakibatkan dari ketidaktahuan memitigasi bencana. Banjir, misalnya. Kita pasti paham bahwa membuang sampah pada tempatnya, membersihkan sampah dari aliran sungai, dan menanam pohon untuk menambah resapan air adalah tiga cara mencegah banjir.

Akan tetapi, faktanya justru berbeda seratus delapan puluh derajat. Sampah berserakan adalah hal yang maklum kita temui saat berjalan di trotoar. Aliran sungai masih dihiasi sampah yang menggenang.

Yang paling mengenaskan, University of Georgia menempatkan Indonesia pada peringkat kedua negara pembuang sampah plastik ke laut terbesar di dunia setelah Tiongkok. Setiap tahunnya, sekitar 0,48---1,29 ton sampah plastik mencemari laut Nusantara.

Belum usai soal sampah, deforestasi juga masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung selesai. Data statistik Kementerian Kehutanan menyebut laju deforestasi Indonesia sepanjang 2000---2010 mencapai 1,2 juta hektar per tahun.

Padahal kita tahu, hukum alam itu nyata. Bila kita terus mencemari alam dengan sampah dan tidak peduli pada penebangan liar, bencana alam pun akan menjadi buah pahit yang terpaksa harus kita telan. Sebaliknya, bila kita jaga alam, alam jaga kita.

Itu artinya, kita masih punya pekerjaan rumah besar bernama meningkatkan kesadaran bencana menjadi tindakan nyata, hingga akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Dan, cara terbaik untuk menumbuhkan kebiasaan menjaga alam adalah lewat pendidikan.

Belajar Pendidikan Bencana dari Jepang dan Filipina

Untuk memahami pentingnya arti pendidikan kebencanaan, ada baiknya kita berkaca pada Jepang. Sudah menjadi rahasia umum bila Jepang adalah negara paling rawan terkena bencana alam---khususnya gempa bumi---di dunia.

Setiap tahunnya, warga Jepang harus berhadapan dengan 1.500-2.000 kali gempa bumi. Paling tinggi dibanding negara mana pun di dunia.

Akan tetapi, cobaan itu tidak membuat Jepang berpasrah diri. Sejak gempa bumi Kobe pada 1995, Jepang mulai berbenah. Sadar akan dampaknya yang sangat destruktif, evaluasi kemudian dilakukan secara besar-besaran.

Selain memperbarui standar bangunan tahan gempa, Jepang juga menumbuhkan kebiasaan sadar bencana lewat kurikulum pendidikan sejak usia dini. Anak sekolah melakukan simulasi gempa setiap bulan. Dan, itu semua dilakukan tanpa aba-aba.

Ketika alarm berbunyi (baik karena simulasi atau gempa sesungguhnya), mereka tahu apa yang harus dilakukan. Andai berada di gedung bertingkat, mereka bersembunyi di kolong meja. Jikalau berada di bangunan tanpa tingkat, mereka berjalan dengan tenang ke arah lapangan terbuka.

Oleh karena itu, warga Jepang memiliki ketenangan yang luar biasa ketika terjadi gempa. Tidak panik, tidak pula menjerit. Sebab mereka sudah terbiasa melakukan tindakan benar, lewat pendidikan kebencanaan sejak usia dini.

Pendidikan bencana di Jepang. Foto: Mext.go.jp.
Pendidikan bencana di Jepang. Foto: Mext.go.jp.

Sama seperti Jepang, kurikulum pendidikan kebencanaan juga menjadi alat mitigasi bencana bagi warga Filipina. Hampir serupa dengan Indonesia, Filipina adalah salah satu negara yang rawan bencana banjir dan tanah longsor.

Sadar akan potensi kerugian materiil dan korban jiwa akibat bencana, Kementerian Pendidikan Filipina telah memasukkan pendidikan kebencanaan dalam setiap jenjang pendidikan sejak awal 2000-an.

Lewat kurikulum tersebut, anak sekolah di Filipina mendapat edukasi tentang iklim, sistem peringatan dini (early warning system), hingga simulasi menghadapi bencana. Yang perlu digarisbawahi, sama seperti Jepang, simulasi dilakukan setiap waktu secara terus-menerus, hingga akhirnya mereka jadi terbiasa.

Pada akhirnya, kebiasaan itulah yang menuntun anak-anak dan warga Filipina di Provinsi Leyte Selatan untuk bisa melakukan evakuasi tepat waktu ketika tanah longsor terjadi pada 2006. Ratusan penduduk dapat diselamatkan dan korban jiwa dapat diminimalisasi.

Apa yang dilakukan Jepang dan Filipina semestinya bisa dicontoh oleh Indonesia. Di Indonesia, pendidikan kebencanaan belum dimasukkan ke dalam kurikulum. Meskipun tahun ini BNPB akan mengadakan pendidikan mitigasi bencana kepada 250 ribu sekolah di daerah rawan bencana, tetap saja, itu masih bersifat "dadakan".

Yang kita butuhkan adalah pendidikan kebencanaan yang bersifat struktural, sehingga mampu melahirkan kebiasaan siap siaga bencana pada setiap anak bangsa. Kita butuh pendidikan kebencanaan yang mampu mengubah kesadaran (awareness), menjadi tindakan (action), dan berujung pada kebiasaan (habit).

Oleh karena itu, setiap elemen bangsa harus bahu-membahu. Pemerintah, lewat Kemdikbud, harus mulai mengkaji pentingnya memasukkan pendidikan kebencanaan pada kurikulum. BNPB harus menopang dari belakang agar pendidikan berjalan dengan benar dan tepat sasaran.

Ingat, selalu ada pelangi selepas hujan pergi. Kalau mau pelangi itu menghiasi langit Nusantara, maka pilihannya hanya satu: belajar dari bencana. Bukan berdiam diri, apalagi hanya meratapi.

Kalau kurikulum pendidikan kebencanaan terus dihindari, lantas perlu berapa korban jiwa lagi? [Adhi]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun