Saya baru saja selesai melayani dua orang sopir truk yang kelaparan dari perjalanan panjang. Bitung-Gorontalo atau mungkin Manado-Gorontalo. Saya tidak terlalu tahu. Saya tidak sempat menanyakannya. Sebab saya hanya pelayan relawan disebuah rumah makan om saya. "Kopi bang, atau teh?" hanya itu pertanyaan yang sering saya ajukan. Soal makan, layani diri masing-masing. So basar. Heuheuheu
Usaha rumah makan Putri Surabaya yang dijalankan om saya agak berbeda dengan restoran yang berada di kota-kota besar (flast-food/makanan cepat saji).
Bisa jadi, Ritzer akan kualahan mengembangkan teori rasionalitasnya Weber dan tidak akan melahirkan karyanya semonumental "Mdonalisation of Sosiety" itu kalau lapar membawanya ke rumah makan om saya ini. Pikir saya begitu.
Soalnya, kalau hanya makan, mereka tinggal ambil saja dipemanas nasi yang sudah disediakan lengkap dengan sendok, garfu, dan piring, dan memilih lauk. Persis di rumah sendiri.
Soal harga, tidak perlu kahwatir isi dompet terkuras. Karena untuk satu porsi makan anda cukup bayar 25k plus kopi/teh. Bukan sedang promosi! Hahaha
Kampung saya adalah wilaya dengan potensi alamnya yang didominasi oleh tanaman padi dan kelapa juga menjadi persinggahan lintas provinsi. Sebagaimana Arab yang diapit oleh dua peradaban besar kala itu---Romawi dan Persia---yang menjadi pusat perdagangan.
Kebanyakan dari pelanggan yang singga adalah mereka yang dari melakukan perjalanan jauh serupa lintas provinsi. Sehingga menjadi tak terelahkan untuk tetap singga dan beristrahat di rumah makan yang menyediakan tempat untuk merebahkan badan sebentar.
Tapi sudahlah, saya bukan ingin sedang  menjelaskan itu semua. Saya hanya kagum pada "om/ba pak" yang ada di depan batang hidung saya ini. Yang juga seorang pelanggan terakhir yang meminta dibuatkan kopi disepertiga malam. Yes, saya shift tenga malam.
Pada kursi panjang, juga meja panjang yang jarang didiami para pelanggan, yang letaknya bersandar pada dinding yang setenganya dipasang ram-ram besi juga gordon sebagai penghalang dari hembusan angin malam yang ditiupkan pantai. Itu tempat biasa saya merebahkan badan sambil main gadget menunggu pelanggan.
"Ini kopi pesanannya bang" ujar saya sambil menyodorkan kopi padanya di atas meja panjang. Saya kembali pada posisi awal, dengan kaki yang menyilang di atas kursi panjang dan tubuh yang dibungkus sarung sambil asik main gadget.