Mohon tunggu...
Panji Saputra
Panji Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Makelar Kopi

Sunyi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Seorang Pelancong Tua Tangguh

17 Februari 2020   00:40 Diperbarui: 17 Februari 2020   01:06 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
autos.thestylishpeople.com


Saya baru saja selesai melayani dua orang sopir truk yang kelaparan dari perjalanan panjang. Bitung-Gorontalo atau mungkin Manado-Gorontalo. Saya tidak terlalu tahu. Saya tidak sempat menanyakannya. Sebab saya hanya pelayan relawan disebuah rumah makan om saya. "Kopi bang, atau teh?" hanya itu pertanyaan yang sering saya ajukan. Soal makan, layani diri masing-masing. So basar. Heuheuheu

Usaha rumah makan Putri Surabaya yang dijalankan om saya agak berbeda dengan restoran yang berada di kota-kota besar (flast-food/makanan cepat saji).

Bisa jadi, Ritzer akan kualahan mengembangkan teori rasionalitasnya Weber dan tidak akan melahirkan karyanya semonumental "Mdonalisation of Sosiety" itu kalau lapar membawanya ke rumah makan om saya ini. Pikir saya begitu.

Soalnya, kalau hanya makan, mereka tinggal ambil saja dipemanas nasi yang sudah disediakan lengkap dengan sendok, garfu, dan piring, dan memilih lauk. Persis di rumah sendiri.

Soal harga, tidak perlu kahwatir isi dompet terkuras. Karena untuk satu porsi makan anda cukup bayar 25k plus kopi/teh. Bukan sedang promosi! Hahaha

Kampung saya adalah wilaya dengan potensi alamnya yang didominasi oleh tanaman padi dan kelapa juga menjadi persinggahan lintas provinsi. Sebagaimana Arab yang diapit oleh dua peradaban besar kala itu---Romawi dan Persia---yang menjadi pusat perdagangan.

Kebanyakan dari pelanggan yang singga adalah mereka yang dari melakukan perjalanan jauh serupa lintas provinsi. Sehingga menjadi tak terelahkan untuk tetap singga dan beristrahat di rumah makan yang menyediakan tempat untuk merebahkan badan sebentar.

Tapi sudahlah, saya bukan ingin sedang  menjelaskan itu semua. Saya hanya kagum pada "om/ba pak" yang ada di depan batang hidung saya ini. Yang juga seorang pelanggan terakhir yang meminta dibuatkan kopi disepertiga malam. Yes, saya shift tenga malam.

Pada kursi panjang, juga meja panjang yang jarang didiami para pelanggan, yang letaknya bersandar pada dinding yang setenganya dipasang ram-ram besi juga gordon sebagai penghalang dari hembusan angin malam yang ditiupkan pantai. Itu tempat biasa saya merebahkan badan sambil main gadget menunggu pelanggan.

"Ini kopi pesanannya bang" ujar saya sambil menyodorkan kopi padanya di atas meja panjang. Saya kembali pada posisi awal, dengan kaki yang menyilang di atas kursi panjang dan tubuh yang dibungkus sarung sambil asik main gadget.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun