Mohon tunggu...
Nur Jannah
Nur Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Nur Jannah

Hello

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perusakan Masjid dan Penyerangan Tokoh Agama

11 Oktober 2021   06:02 Diperbarui: 11 Oktober 2021   06:17 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Penyerangan terhadap Ustadz atau pemuka Muslim sudah beberapa kali terjadi di negeri ini. Mulai dari Syekh Ali Jaber hingga penyerangan terhadap Ustadz Abu Syahid Chaniago oleh orang tak dikenal di Batam pada hari Senin (20/9). 

Tak hanya tokoh agama, perusakan masjid juga beberapa kali terjadi di negeri ini. Salah satunya terjadi di Sintang, Kalimantan Barat pada tanggal 3 September 2021 lalu, sejumlah warga merusak Masjid Miftahul Huda milik jemaah Ahmadiyah. Bangunan di dekat masjid dibakar hingga masjid rusak berat. 

Polisi telah menetapkan 21 tersangka dalam kasus perusakan masjid tersebut. Aksi warga itu dipicu aktivitas Ahmadiyah yang masih terus melaksanakan ritual peribadatannya di desa tersebut. Padahal, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 telah menyatakan kesesatan Ahmadiyah dari agama Islam. Walhasil, warga memilih main hakim sendiri lantaran pemerintah dianggap gagal menyelesaikan konflik yang meresahkan warga sekitar.

Berulangnya kejadian perusakan masjid dan penyerangan tokoh agama menjadi indikasi bahwa negara gagal membangun penghormatan terhadap tokoh agama dan tempat ibadah/masjid. Selain itu, negara berlepas tangan dalam melindungi tokoh agama dan tempat ibadah dari aksi kriminal. Seringkali pelaku yang tertanggap melakukan penyerangan terhadap tokoh agama tidak diberikan sanksi yang tegas.

Terkait dengan kasus pembakaran masjid milik Jemaah Ahmadiyah yang dilakukan warga atas dasar penolakan mereka terhadap kelompok Ahmadiyah tersebut juga kembali mengindikasikan absennya negara. Pemahaman sekuler liberal sungguh telah menyandera pemerintah untuk tidak bisa berbuat tegas pada Ahmadiyah.

Menurut sekularisme---yang memisahkan agama dan kehidupan---posisi agama berada pada wilayah privat yang tak boleh dibawa pada urusan kehidupan bermasyarakat. Liberalisme menghendaki manusia menghormati hak individu dalam beragama, dan negaralah pihak yang paling bertanggung jawab dalam melindungi kebebasan tersebut.

Dalam Islam, keberadaan sebuah kelompok atau jemaah telah diatur oleh Allah Swt.. Adapun syarat jemaah tersebut adalah tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Maka, Ahmadiyah tidaklah dianggap sebagai kelompok Islam karena akidahnya yang dinilai cacat. Dalam surah Ali Imran: 104 disebutkan bahwa keberadaan jemaah Islam hukumnya fardu kifayah. Ayat ini pun membatasi aktivitas kelompok tersebut yaitu berdakwah pada Islam dan beramar makruh nahi mungkar.  

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (TQS Ali Imran: 104). Maka, ketika ada kelompok yang telah dinyatakan kesesatannya, kelompok tersebut akan disejajarkan dengan golongan murtad. Kewajiban pertama bagi Khalifah adalah menasihati mereka dan menunjukkan ke jalan kebenaran. Setelahnya, Khalifah wajib menjelaskan kesesatan mereka dan meminta mereka untuk bertobat.

Dalam Islam, negara juga berkewajiban menjaga dan melindungi rakyatnya, lebih-lebih kepada ulama. Sebab, ulama dimuliakan karena keilmuannya dan kedudukannya sebagai pelita yang menerangi umat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun