Mohon tunggu...
Nizwar Syafaat
Nizwar Syafaat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rasionalitas Kemiskinan SBY-PS vs Istana

31 Juli 2018   21:30 Diperbarui: 31 Juli 2018   21:54 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SBY dan Prabowo mengatakan bahwa pemerintah perlu memperhatikan kelompok 40% penduduk lapisan bawah yang berada dalam kemiskinan, yang jumlahnya sekitar 100 juta berdasarkan kriteria garis kemiskinan dengan pengeluaran sebesar US$ 1.9 per hari per kapita (World Bank) atau dibulatkan menjadi US$ 2 per hari per kapita.  Pemerintah meradang, menurut data BPS jumlah penduduk miskin Maret 2018 hanya sebesar 25.95 juta jiwa atau 9.82% dari jumlah penduduk Indonesia dengan garis kemiskinan jumlah pengeluaran Rp 13.374 atau sekitar US$ 1 per hari per kapita. 

Apa yang salah dengan kedua pernyataan tersebut.  Menurut saya tidak ada yang salah karena keduanya menggunakan kriteria berbeda dan secara ilmiah syah saja.  Saya mendukung penggunaan kriteria garis kemiskinan yang digunakan SBY dibanding BPS karena yang digunakan SBY lebih manusiawi dan realistis  sesuai dengan kondisi kebutuhan hidup sehari-hari di Indonesia.

Pernyataan Menteri Sesneg agar SBY menggunakan data yang dirilis BPS, itu suatu himbauan yang baik.  Namun SBY yang berlatar akademisi tentu bebas untuk mencari sumber lain yang dipandang lebih sesuai dengan kondisi kebutuhan hidup sehari-hari penduduk miskin.

Masalahnya, ternyata tidak semua data official pemerintah yang dikeluarkan oleh kementerian dan BPS benar adanya.  Saya sering menggunakan data yang bersumber dari luar negeri apabila ingin menjelaskan fenomena, misalnya  membajirnya stok barang impor di pasaran domestik, karena data impor yang dikeluarkan pemerintah ataupun BPS cenderung lebih kecil dari yang sebenarnya.  Jadi kebenaran data tidak semua menjadi milik pemerintah dan BPS.  Oleh karena itu, wajar apabila seseorang menggunakan data lain sebagai pembanding. 

Saya mendukung kriteria yang digunakan SBY dengan beberapa alasam sebagai berikut:

  • Garis kemiskinan yang digunakan BPS berdasakan Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) yaitu sebesar Rp 13.374 per hari per kapita, dimana Rp 9.827 (73.48%) untuk pangan.  Jatah makan tahanan di Indonesia sebesar Rp 15.000 per hari per kapita.  Artinya garis kemiskinan BPS jauh lebih rendah dibanding jatah makanan narapidana.  Kriteria garis kemiskinan berdasarkan KFM sudah digunakan sejak zaman Kolonial sekitar tahun 1933 dan memang lebih kecil dari jatah makanan tahanan. Itulah yang dikritik oleh Bung Karno dan Bung Hatta karena tidak manusiawi, dan kenyataannya sekarang masih digunakan oleh BPS.  Sehingga saya tidak mendukung garis kemiskinan BPS tapi mendukung garis kemiskinan yang digunakan SBY karena lebih manusiawi dan realistis.
  • World Bank memang menggunakan kriteria US$ 1.9 (PPP 2011).  Namun dengan menggunakan Purchasing Power Parity (PPP) ternyata kriteria tersebut lebih rendah dibanding kriteria garis kemiskinan BPS, sehingga saya menolok penggunaan kriteria tersebut tapi mengadopsi kriteria US$ 1.9 dengan dibulatkan US$ 2 per kapita per hari atau sekitar Rp 28.000 (nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.000).
  • Garis kemiskiskinan Rp28.000 per hari per kapita adalah lebih manusia untuk bertahan hidup.
  • Sebagai bahan pertimbangan rata-rata Pendapatan penduduk Indonesia sebesar Rp 47.96 juta per kapita per tahun.  Kalau garis kemiskinan sebesar Rp 10 juta tentu wajar, dan kondisi seperti itu akan mendorong pemerintah untuk terus menerus memperhatikan masyarakat miskin.  Bandingkan kalau garis kemiskinan hanya sekitar Rp 5 juta, tentu jauh sekali dengan pendapatan rata-rata masyarakat Indonesia, sangat tidak manusia dan realistis.

Saran dan Himbauan

Polimek SBY-PS vs Istana tentang jumlah penduduk miskin tidak perlu diteruskan,  Sebaiknya pihak istana menanggapi positif atas masukan SBY-PS sebagai pemacu pemerintah untuk mencari akar permasalahan kemiskinan dan upaya penanggulangannya.

BPS harus selalu melakukan update kriteria kemiskinan sesuai dengan perkembangan kelayakan hidup sederhana di Indonesia diintegrasikan dengan dunia.  Mungkin penggunaan KFM sebaiknya ditinggalkan saja karena itu warisan kolonial.  Saat ini kriteria tersebut jauh lebih rendah dari jatah makanan tahanan di Indonesia.        

Nizwar Syafaat, Ekonom dan  Pengamat Kebijakan Publik. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun