Mohon tunggu...
Nisrina Alya Risti
Nisrina Alya Risti Mohon Tunggu... Mahasiswa

Halo, saya mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jejak Anak Jalanan di Semarang : Hidup di Tengah Kemiskinan, Tumbuh dalam Harapan

13 Oktober 2025   22:11 Diperbarui: 13 Oktober 2025   22:11 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Wawancara di Yayasan (Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Semarang, 1 Oktober 2025 --- Lima mahasiswa melakukan kunjungan lapangan ke Yayasan Setara, lembaga yang berfokus pada perlindungan dan pemenuhan hak anak di Kota Semarang. Kegiatan ini merupakan bagian dari tugas mata kuliah Patologi Sosial yang dibimbing oleh Drs. Sugiyarta SL, M.Si. dan Miftahun Najah, S.Psi., M.A. dengan tema "Penegakan Hak Anak sebagai Fondasi Kesejahteraan Sosial dan Psikologis Anak." Melalui wawancara dengan pengurus dan staf pendamping, mahasiswa berupaya memahami bagaimana fenomena kerentanan anak dapat dipandang sebagai bentuk patologi sosial di masyarakat, sekaligus menggali upaya nyata lembaga dalam melindungi anak-anak yang rentan secara sosial dan psikologis.Dari hasil wawancara, diketahui bahwa Yayasan Setara berawal dari inisiatif seorang pekerja sosial bernama Winarso, yang sejak Oktober 1993 mendampingi anak-anak jalanan di kawasan Pasar Johar. Ia membiayai seluruh kegiatan dari dana pribadi dan dukungan teman dekat, hingga akhirnya mendapat bantuan pertama dari USC Canada (kini Yayasan Satu Nama) pada Agustus 1994 sebesar Rp300.000 untuk biaya operasional. Dalam periode 1994--1995, Winarso terlibat dalam proyek "Pendokumentasian Program bagi Pekerja Anak" bersama mitra ILO/IPEC, yang kemudian melahirkan buku Pekerja Anak dan Penanggulangannya serta terbentuknya Kelompok Anak Jalanan Semarang (KAJS). Pada 1996, melalui dukungan Terre des Hommes Germany (TdH), berdirilah Semarang Street Kids Project yang berkembang menjadi Paguyuban Anak Jalanan Semarang (PAJS) dan kemudian menjadi cikal bakal Yayasan Setara.

Salah satu pengurus yang kami wawancarai mengenang masa awal dengan nada getir. "Banyak orang tua yang bahkan lupa kalau mereka punya anak," ucapnya. Ia menilai kondisi tersebut sebagai cermin dari masalah sosial yang lebih luas: kemiskinan, disfungsi keluarga, dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap anak-anak yang hidup di jalanan. Bagi para mahasiswa, pernyataan itu menjadi bukti nyata bahwa patologi sosial tidak selalu tampak dalam bentuk kekerasan atau kriminalitas, tetapi juga dalam bentuk pengabaian yang terlembagakan di lingkungan sosial.

Yayasan Setara kini menjalankan berbagai program untuk menangani anak-anak korban kekerasan, eksploitasi, dan anak dengan perilaku berisiko. Bentuk pendampingan yang dilakukan mencakup pendidikan nonformal, konseling psikososial, serta kegiatan sosial yang menumbuhkan rasa percaya diri. "Kami tidak hanya memberi kegiatan belajar, tapi membantu mereka mengenali diri dan kembali percaya pada orang lain," ujar salah satu staf pendamping. Pendekatan empatik menjadi dasar dalam setiap penanganan kasus. "Kami tidak bisa langsung memberi solusi. Yang utama itu membuat anak merasa aman dulu, baru setelah itu pelan-pelan membantu mereka memahami masalahnya," tambahnya. Dari wawancara juga diketahui bahwa Yayasan Setara melakukan pendokumentasian dan monitoring kasus eksploitasi anak setiap tahun. Data ini digunakan untuk mengevaluasi efektivitas program dan menjadi dasar advokasi kepada pemerintah daerah. Salah satu pengurus menegaskan, keterbatasan dana dan tenaga bukan alasan untuk berhenti bergerak. "Kalau menunggu anggaran, nggak akan jalan. Kadang kami turun ke lapangan pakai uang pribadi," ujarnya tegas.

Hasil Poster Anggota Kelompok (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Hasil Poster Anggota Kelompok (Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Berdasarkan wawancara dan analisis materi mata kuliah, mahasiswa menilai bahwa permasalahan anak jalanan mencerminkan bentuk patologi sosial yang kompleks melibatkan aspek ekonomi, budaya, dan moral masyarakat. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan tanpa dukungan keluarga, pendidikan, dan perlindungan hukum cenderung mengalami marginalisasi ganda yaitu sebagai korban dan sebagai pihak yang sering disalahkan atas keadaan mereka. Oleh karena itu, mahasiswa menyusun beberapa rekomendasi edukatif berupa poster tematik yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap isu perlindungan anak. Tema yang diangkat antara lain "Fenomena Kerentanan Anak sebagai Bentuk Patologi Sosial di Indonesia," "Hak Anak dan Tantangan Pemenuhannya dalam Kehidupan Sosial," "Strategi Pendampingan Anak Jalanan: Pendidikan, Perlindungan, dan Dukungan Psikososial," serta "Dinamika Sosial dan Psikologis Anak Jalanan di Lingkungan Binaan."

Melalui tugas ini, mahasiswa tidak hanya belajar mengenali gejala sosial yang melatarbelakangi masalah anak jalanan, tetapi juga memahami pentingnya kolaborasi antara lembaga masyarakat, akademisi, dan pemerintah dalam penanganan anak-anak rentan. Seperti yang disampaikan salah satu pengurus di akhir wawancara, "Kami tidak bicara soal sukses, tapi soal bagaimana mereka bisa menghargai sesama." Kalimat itu menutup pertemuan kami dengan refleksi sederhana: bahwa pemulihan anak bukan hanya tanggung jawab lembaga, tetapi juga cerminan dari kesadaran sosial seluruh masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun