Semarang - Kehidupan sosial siswa di sekolah menengah kembali menjadi sorotan setelah sekelompok mahasiswa di bawah bimbingan Prof. Dr. Edy Purwanto, M.Si. dan Woro Apriliana Sari, S.Psi., M.Si. melakukan observasi di lapangan. Sejak 8 September, mereka mulai berinteraksi dengan pihak sekolah, melanjutkan dengan observasi pada 11 September, hingga menutup rangkaian kegiatan dengan wawancara mendalam pada 23 September 2025. Selama lebih dari dua pekan, mahasiswa ini menelusuri dinamika interaksi antar siswa, mulai dari pertemanan, tekanan sosial, hingga perilaku remaja yang sering luput dari perhatian.
Selama berada di lapangan, mahasiswa menemukan bahwa kehidupan sosial siswa tidak selalu berjalan mulus. Di balik aktivitas belajar, muncul fenomena kelompok pertemanan yang eksklusif sehingga sebagian anak merasa terpinggirkan. Mereka yang tidak masuk dalam kelompok tertentu kerap merasa minder, bahkan menarik diri dari pergaulan. Dan juga mereka yang tergabung dalam suatu kelompok menciptakan sebuah gap yang di mana mereka tidak mau berinteraksi selain dari kelompok mereka sendiri. Kondisi ini semakin rumit dengan munculnya kenakalan remaja, mulai dari penggunaan bahasa kasar, kebiasaan membolos, hingga perilaku berisiko akibat pengaruh pergaulan di luar sekolah. Situasi tersebut bukan hanya menciptakan jarak antar siswa, tetapi juga menurunkan semangat belajar dan rasa percaya diri.
Sekolah sesungguhnya sudah menyiapkan beberapa cara untuk pencegahan dari masalah ini. Seperti arahan wali kelas setiap pekan, kegiatan pembiasaan rutin, hingga layanan bimbingan konseling menjadi program yang digelar untuk meredam masalah sosial. Namun, stigma yang melekat pada ruang BK sebagai tempat "hukuman" membuat sebagian siswa enggan untuk datang. Akibatnya, berbagai persoalan tidak terselesaikan secara menyeluruh. Hambatan ini menjadi salah satu sorotan utama dari mahasiswa yang terjun langsung ke lokasi.
Catatan akhir dari kegiatan ini menunjukkan bahwa masalah sosial di kalangan remaja tidak dapat selesai dengan aturan disiplin semata. Dibutuhkan kerja sama erat antara guru, siswa, dan orang tua untuk menciptakan lingkungan sekolah yang sehat dan inklusif. Jika langkah bersama ini dijalankan secara konsisten, sekolah dapat benar-benar menjadi ruang tumbuh kembang remaja, tempat mereka belajar, berinteraksi tanpa gap, dan membentuk karakter yang siap menghadapi tantangan zaman.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI