Mohon tunggu...
Retno Wahyuningtyas
Retno Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Human Resources - Phenomenologist

Sedang melakoni hidup di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Gadget Artikel Utama

Pentingnya Mak-mak Kritis Sejak dalam WhatsApp Group

9 September 2018   15:38 Diperbarui: 10 September 2018   09:53 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: CHRIS RATCLIFFE/BLOOMBERG/GETTY IMAGES

Pada suatu hari, ibu saya terkikik-kikik dan asyik sendiri dalam keadaan memegang handphone. Karena penasaran, saya menghampiri ibu dan beliau menceritakan tentang topik obrolan di WhatsApp dari sekelompok teman masa SMA. Topiknya, tentang suatu peristiwa di kantin sekolah, puluhan tahun silam.

Belakangan ketika saya cermati betul, tidak ada sisi humor yang berlebihan di dalam pesan WhatsApp Group (WAG) alumni ibu, biasa saja. Tetapi kenangannya membawa dia menembus dimensi retrospektif yang menghadirkan tindakan terkikik-kikik sendiri.

Ibu saya sehari-hari bekerja sebagai pedagang, dia memiliki jam terbang dan menu masak yang tinggi. Konon, beliau punya cita-cita dan semangat yang tinggi untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Peluang dan kesempatan berharga tidak serta merta dimiliki setiap orang, dengan ambisi yang tinggi lalu beliau melanjutkan hidup melalui berdagang dan menekuni urusan kuliner.

Karena sehari-hari bekerja di dapur untuk eksprimen dan bekerja keras untuk memasarkan dagangannya, ibu saya sama sekali tidak bersentuhan dengan android ataupun jaringan internet. Ketika ditawari pun, ibu belum terlalu berminat.

Selama ini, kalau ingin berfoto ya menumpang di handphone teman-temannya. Sementara, untuk berkomunikasi ibu cukup menggunakan handphone biasa. Baginya sudah cukup, handphone berfungsi sebagaimana mestinya: untuk telpon dan sms.

Sebagai anak, saya tidak meragukan semangat belajar dan kemampuannya yang tidak bisa diragukan sama sekali. Tetapi beliau hanya belum berkeinginan untuk berkenalan dengan apa itu gawai, media sosial, dan internet.

Media Sosial Memperkuat Silaturahmi Emak-Emak 

Tiga tahun yang lalu, setelah mengikuti reuni akbar teman-teman SMA. Selepas makan malam, dia merayu anak-anaknya untuk mengajarinya menggunakan media sosial.

Waktu itu, yang sedang hits di kalangan pertemannya adalah grup Facebook dan Blacberry Messenger, sementara WAG belum populer seperti saat ini.

Meski sedikit kaku, tidak butuh waktu lama untuk beliau belajar mengetik, membaca, dan jari-jarinya beradaptasi dengan layar sentuh.

Dahulu, jika diajarkan menggunakan layar sentuh, ibu akan keukeuh menolak dengan dalih kesulitan dan malas. Kali ini semangat silaturahminya lebih dominan dibandingkan kemalasannya yang telah lalu.

Berdasarkan pengalaman grup alumni teman-teman sekolah Ibu saya, tulisan ini akan menjelaskan bahwa selama ini stereotip dan kesalahpahaman telah banyak mempersalahkan perempuan dalam segala lini. Termasuk ketika menggunakan alat teknologi.

Berbeda dengan laki-laki paruh baya yang kerap kali erat dengan penyalahgunaan melalui media sosial. Sementara bagi perempuan, teknologi justru mendukung berbagai hal, termasuk menambah pendapatan karena orderan jadi lebih banyak berdatangan.

Media sosial dapat membantu ibu-ibu di grup alumni untuk semakin mempererat silaturahmi dengan teman-teman lama. Bertanya tentang kondisi keluarga, saling mendukung, saling mendoakan, dan tentu ada aktivitas-aktivitas positif yang lahir setelahnya.

Suatu kali, pernah ada salah seorang teman ibu yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Mereka demokrasi dalam menentukan sikap untuk ikut mendukung atau berbeda pandangan, semua teman tetap berupaya saling mendoakan dari jarak jauh, begitu kata ibu. Perbedaan politik tidak lantas memunculkan kebencian di antara mereka.

Media Sosial menjadi Ruang Belajar

Berkat media sosial, yang mengetahui produk kuliner ibu bukan hanya dari lingkungan tetangga ataupun pelanggan setianya, tetapi rezeki juga berdatangan dari teman-teman lama yang ikut mendukung usaha teman. Dalam pengamatan penulis, perempuan lebih luwes dan tau menempatkan diri saat menggunakan media sosial.

Hal ini berlaku meskipun, perempuan yang saya maksud adalah perempuan yang tidak memiliki pengetahuan khusus mengenai literasi digital dalam menggunakan media sosial. Nilai moral yang dipegang teguh oleh perempuan, juga digunakan saat mereka mengoperasikan media sosial.

Setelah ibu mempunyai Facebook, sumber pengetahuannya menjadi semakin bertambah, khususnya dalam hal menu masakan Indonesia. Dilengkapi dengan Youtube, Google, dan juga Facebook, ibu semakin suka bereksperimen menu baru yang bermanfaat untuk memperkuat usaha kulinernya.

Kolom status Facebook hanya digunakan untuk memposting kegiatan-kegiatan yang menurutnya menarik, selebihnya postinga berdasarkan yang ditandai oleh teman.

Postingan tentang dakwah juga cenderung didasarkan kepada para pendakwah yang penyampaiannya baik dan tentu membuat adem.

Isu agama yang belakangan sangat dekat dengan politik membuat kedua aspek ini menjadi bahan bakar utama dalam menyulut perpecahan melalui pesan berantai di media sosial.

Berbeda dengan grup alumni, urusan politik seringkali menjadi topik yang tidak laku untuk diperhatikan oleh pembaca grup. Topik yang gemar dibahas adalah piknik, cerita-cerita nostalgia, dan lain-lainnya.

Pernah suatu kali saya mengintip bagaimana respon ibu-ibu di WAG ketika harga kebutuhan pokok naik, respon yang muncul adalah keluhan bersama, tapi kemudian ditimpali dengan candaan ataupun berbagi siasat dengan mengurangi porsi terhadap suatu produk yang harganya sedang naik.

Dalam menggunakan media sosial, semangat ini penting karena pada dasarnya setiap perubahan kebijakan di negara, yang paling paling merasakan dampaknya adalah perempuan di level akar rumput, maka yang dapat dilakukan adalah tidak saling menyebarkan kepanikan, hoax, ataupun kebencian.

Hebatnya, ibu-ibu memiliki kekuatan untuk mensiasati keadaan tanpa mengeluh, kritis dan protes terbaik yang dapat di lakukan oleh ibu-ibu di tingkat akar rumput adalah tetap tenang dan menemukan upaya penyelesaian.

Seperti misalnya ketika harga telur sedang naik, yang dilakukan oleh ibu-ibu di sekitar kampung saya adalah mengurangi porsi makan telur, dan mulai sadar untuk memelihara ayam sendiri.

Bagi perempuan dalam tingkat menengah yang memiliki akses untuk mengkritisi kebijakan, cara yang dapat dilakukan adalah dengan protes secara kritis sehingga diharapkan dapat mengubah kebijakan yang berpihak pada keadilan bersama.

Menanggapi tentang Barisan Emak-Emak Militan yang melakukan demo terhadap pemerintahan sekarang, menurut penulis, merupakan tindakan kooptasi terhadap mak-mak oleh kelompok yang memiliki kepentingan politik.

Jika selama ini suara perempuan hilang, dan dibutuhkan sebagai suara yang ikut menentukan arah dan keberlangsungan pembangunan. Maka suara perempuan yang disampaikan merupakan suara-suara minor mengenai permasalahan perempuan yang lebih substantif. Tindakan demo tersebut dalam pandangan penulis hanya demi suatu kepentingan politis.

Salah satu yang mesti disuarakan adalah tentang hak literasi perempuan di Indonesia yang masih berada di posisi rendah.

Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Jurnal Perempuan menyebutkan bahwa pada tahun 2017 perempuan dan anak di perdesaan masih berada di posisi buta huruf yang mengkhawatirkan.

Hal ini bisa disebabkan karena akses belajar yang tidak memadai seperti misalnya Papua yang berada di posisi tertinggi.

Bagi perempuan yang memiliki akses di perkotaan, terkadang kesempatan untuk belajar dan mengembangkan diri juga bukan perihal yang mudan karena berkaitan dengan akses dan peluang.

Ini berarti keberadaan teknologi yang dianggap memberikan solusi terhadap wilayah yang sulit terjangkau juga belum diatasi secara penuh.

Namun celah ini ini dapat diatasi dengan cara berbagi pengetahuan melalui platform teknologi yang dapat kita jangkau sehari-hari.

Untuk membantu perempuan yang lainnya mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang beragam, ibu-ibu dapat menyebarkan satu konten positif yang dapat dibaca oleh pembaca yang lain.

Ini efektif, terutama untuk meredam hoax dan kebencian di media sosial yang digaungkan melalui isu politik dan agama.  

Karena solidaritas para mak-mak itu kuat sekali, cara ini dapat dilakukan sejak dalam WAG. Melemparkan suatu pengetahuan lalu bersama-sama mengkritisinya dari berbagai pandangan.

Cara ini tentu tidak mudah, tetapi sangat mungkin dilaksanakan. Dan pada akhirnya, bila semua perempuan telah memiliki kesadaran dan pengetahuan yang kritis maka bukan tidak mungkin perempuan akan terlibat dalam proses pembangunan, menempati posisi-posisi strategis, dan ikut menentukan kebijakan bagi perempuan yang selama ini kurang diperhatikan.

Mak-mak kritis, bersatulah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun