[caption id="attachment_415107" align="aligncenter" width="618" caption="Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Kompas.com)"][/caption]
Jokowi secara jelas menunjukkan kekuatannya, setelah konsolidasi. Kalla yang berseberangan dengan Jokowi pun harus mengonfirmasi keterangannya selepas bertemu dengan Budi Gunawan. Kasus Novel memberikan warna perbedaan pandangan antara Kalla dan Jokowi. Terkait penangkapan Novel Baswedan bisa jadi merupakan kasus terakhir adanya perbedaan - karena perbedaan kepentingan dan Nyonya. Jusuf Kalla awalnya dimasukkan oleh Mega untuk mengawal sikap Presiden Jokowi dan Suryo Paloh. Namun akibat langkah Mega yang ‘ora nguwongake alias tidak mengorangkan Presiden Jokowi' di Kongres PDIP Bali, Presiden Jokowi mengambil langkah tegas: berani mengambil sikap setelah kisruh Budi Gunawan dan KPK. Kasus Novel justru menunjukkan akhir konsolidasi Presiden Jokowi. Mari kita tengok konsolidasi Presiden Jokowi dengan hati gembira ria pesta pora suka cita senang sentosa bahagia riang senantiasa.
Kasus Novel lagi-lagi dijadikan test case tentang kekuatan Presiden Jokowi. Kubu Mega dan Suryo Paloh - dengan faksi pimpinan Jusuf Kalla di Istana - terus berupaya melakukan bargaining position secara politik. Posisi Andi Widjajanto dan Luhut Panjaitan jelas mengurangi porsi sepak terjang Jusuf Kalla. Itu sengaja dibangun oleh Presiden Jokowi. Ditunjuknya Luhut Panjaitan menimbulkan reaksi keras Mega. Melalui Hasto Kristiyanto, Mega melakukan berbagai serangan yang menghantam Abraham Samad - yang nota bene adalah the darling political partner Presiden Jokowi. Desain Presiden Jokowi untuk membangun citra ddengan memanfaatkan kilau KPK dihantam Mega dan Suryo Paloh - dengan menempatkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.
Nah, kasus Novel sebagai langkah lanjutan yang bahkan Novel sendiri menyatakan ada kriminalisasi dibantah oleh Jusuf Kalla. Jusuf Kalla seolah menjadi juru biara Polri dengan berseberangan dengan Presiden Jokowi yang justru memeringatkan Budi Gunawan agar tidak membuat kontroversi: sudah cukup pesan Jokowi.
Terkait kasus Novel, perbedaan pernyataan dalam konteks pada 1-2 Mei 2015 sangat berbeda makna dibanding dengan konteks sekarang - setelah kasus mereda. Jokowi memerintahkan Kapolri melepas Novel Baswedan dan memberi peringatan jelas: Budi Gunawan jangan membuat kontroversi. Sementara Jusuf Kalla justru menyampaikan kasus Novel harus dilanjutkan secara transparan. Nah, dengan munculnya kasus yang bisa menimbulkan kontroversi baru, maka Presiden Jokowi mengambil sikap tegas: memeringatkan Budi Gunawan.
Pernyataan Presiden Jokowi kepada Budi Gunawan ini memiliki makna dan pesan langsung kepada (1) Jusuf Kalla agar tidak menjadi the Real President dan bahwa Jokowi berbeda dengan SBY yang macam ayam sayur di depan Jusuf Kalla, (2) Presiden Jokowi tahu arah dan orkestrasi penangkapan Novel sebagai upaya politis-hukum untuk mengukur kekuatan konsolidasi Jokowi.
Setelah sekian lama dianggap sebagai lemah, klemah-klemeh, Presiden Jokowi, menunjukkan taringnya dengan secara tegas memerintahkan Kapolri untuk tidak menahan Novel Baswedan. Ketentuan penahanan 1 X 24 terlampaui namun bukan di tahanan - di Bandara. Penahanan yang dipaksakan oleh Polri ternyata mendapatkan perlawanan keras KPK. Bahkan Presiden Jokowi yang diperkirakan oleh siapapun termasuk Budi Waseso, Budi Gunawan, Jusuf Kalla dan Megawati tak akan bersuara keras, ternyata langsung menyebut dan memeringatkan Budi Gunawan agar tidak membuat kontroversi baru.
Pernyataan Presiden Jokowi ini dilakukan setelah berkomunikasi dengan Luhut Panjaitan dan juga Panglima TNI Moeldoko dan lingkaran kekuasaan hasil konsolidasi. Dalam perkembangan terkait pernyataan Presiden Jokowi, sebelum Jusuf Kalla bereaksi Presiden Jokowi memerintahkan Jusuf Kalla menemui Budi Gunawan. Selepas bertemu Jusuf Kalla, kondisi panas mereda dengan keluarnya pernyataan bahwa Budi Gunawan tak tahu menahu terkait penangkapan Novel Baswedan. Hal yang aneh dan janggal karena Presiden Jokowi sudah memerintahkan sinergi antara KPK dan Polri serta Kejaksaan Agung. Untuk kasus sepenting itu, penyidik tidak berkoordinasi dengan Wakapolri.
Menanggapi perkembangan terkait perintah Jokowi, Budi Waseso yang menyebut intervensi Presiden Jokowi sebagai lebay, belakangan menyebutkan bahwa penangkapan Novel bukan atas perintah Kabareskrim Budi Waseso. Pernyataan ini sungguh menjadi perhatian dan menampakkan sikap mundur selangkah. Terlebih lagi Kapolri Badrodin Haiti pun menyampaikan bahwa penahanan Novel sebenarnya tidak perlu.
Berbagai pernyataan ini menunjukkan bahwa sikap tegas Presiden Jokowi telah menjadikan kasus penangkapan dan penahanan Novel Baswedan menjadi tidak perlu. Bahkan kasus Novel Baswedan semakin membenarkan sikap dan strategi Presiden Jokowi mencari penyeimbang Jusuf Kalla yakni Luhut Panjaitan yang sama-sama orang Golkar. Keberadaan Luhut bertujuan untuk menjadi penyeimbang posisi Kalla dalam rangka membawa Golkar ke dalam koalisi Jokowi. Jika Jusuf Kalla sendirian sebagai pelobi Golkar, maka dipastikan Jusuf Kalla akan menjadi the Real President seperti masa pertama pemerintahan SBY.
Maka, kasus Novel menjadikan konsolidasi kekuatan Jokowi telah terbentuk. Konsekuensinya, PDIP dan Nasdem kurang mendukung Presiden Jokowi. Kompensasinya secara politik menjadi lebih cair. Bagi Presiden Jokowi - meskipun Jokowi tetap menghormati Mega - jika sudah kelewatan, sebagai presiden pilihan rakyat, Jokowi akan bertindak tegas meskipun tidak disukai oleh Mega. Jokowi bukan ayam sayur yang dengan mudah dikendalikan oleh orang yang men-down-graded dirinya sebagai Presiden Republik Indonesia dan juga Panglima Tertinggi TNI dan atasan langsung Kapolri dan juga Jusuf Kalla. Mega dan para pemimpin parpol penting dalam konteks menghargai presiden sebagai lembaga. Maka pernyataan Mega di Kongres PDIP Bali menjadi titik balik ketegasan asli Presiden Jokowi. Apa konsekuensi dan kompensasu kekuatan bagi Jokowi?