Mereka akan menghitung, menimbang, dan memastikan semua sisi praktisnya, apakah pendapatan keluarga tetap stabil, apakah tanggung jawab terbagi dengan adil, dan apakah ritme rumah tangga tetap terjaga. Jika semua masuk akal, mereka dengan mudah akan berkata, "Oke, ayo jalan."
Namun, karena terbiasa mengatur segalanya dengan standar tinggi, perempuan perfeksionis bisa menghadapi tantangan unik yaitu sulit melepaskan kendali sepenuhnya. Maka muncul momen lucu khas rumah tangga modern, suami berusaha memasak sayur sop tapi salah takaran garam, atau salah melipat baju anak. Meski diiringi helaan napas kecil, hubungan seperti ini justru mengajarkan hal penting, bahwa berbagi tanggung jawab juga berarti berbagi ketidaksempurnaan.
Dari Sudut Pandang Perempuan Ibu Rumah Tangga
Sementara bagi perempuan yang selama ini berperan sebagai ibu rumah tangga, kehadiran bapak rumah tangga justru sering disambut dengan rasa campur aduk antara dukungan, empati, dan sedikit rasa pembuktian.
Selama bertahun-tahun, pekerjaan domestik sering diremehkan, dianggap enteng hanya karena dilakukan di rumah. Tapi begitu seorang laki-laki menjalaninya, perspektif pun berubah. "Baru tahu, ya, repotnya ngurus anak dari pagi sampai malam?" begitu candaan yang sering terdengar.
Fenomena ini membuka ruang dialog baru dalam banyak keluarga. Laki-laki mulai memahami beratnya pekerjaan yang selama ini tak digaji, dan perempuan merasa lebih dihargai karena akhirnya 'dilihat' sebagai pekerja penuh waktu juga. Dalam banyak kasus, ketika keduanya pernah saling menukar peran, hubungan jadi lebih empatik. Tak lagi ada kalimat "kerjaanku lebih berat dari kamu.", karena keduanya tahu bahwa setiap peran punya beban dan nilainya sendiri.
Dari Sudut Pandang Perempuan Liberal dan Aktivis Gender
Bagi perempuan yang aktif memperjuangkan kesetaraan gender, munculnya bapak rumah tangga adalah sinyal positif, tapi belum akhir dari perjalanan panjang. Mereka melihat ini bukan sekadar perubahan pola keluarga, tapi bagian dari revolusi sosial yang lebih besar yaitu menghapus batasan lama tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan berdasarkan jenis kelamin.
Namun, di mata mereka, tantangan sebenarnya justru datang dari lingkungan yang belum siap. Masih banyak bapak rumah tangga yang dianggap 'kurang ambisius' atau 'tidak produktif', padahal kontribusinya dalam membangun kesejahteraan keluarga sama pentingnya. Mereka ingin masyarakat berhenti menilai pekerjaan berdasarkan lokasi, entah di kantor atau di dapur. Dan mulai menghargai nilai kerja berdasarkan dampaknya.
Tapi di sisi lain, perempuan tipe ini juga sadar bahwa tidak semua keluarga ingin atau bisa mengambil pola seperti itu. Kesetaraan bukan berarti memaksa semua orang sama, melainkan memberi kebebasan memilih tanpa dihakimi. Dan di situlah inti dari perubahan yang mereka perjuangkan, kebebasan menentukan peran tanpa kehilangan rasa hormat.
Antara Ego, Ekspektasi, dan Evolusi Peran
Bagi sebagian laki-laki, menjadi bapak rumah tangga bukan hanya soal berhenti bekerja, tapi juga soal berdamai dengan ego. Mereka hidup di dunia yang sejak kecil menanamkan bahwa harga diri laki-laki ada di dompet, bukan di dapur. Dan bagi sebagian perempuan, menerima suami yang mengambil peran itu juga butuh proses karena di bawah kesadaran, mereka pun tumbuh dengan mitos yang sama.
Namun, justru di sinilah letak menariknya, perubahan peran dalam rumah tangga bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal evolusi identitas. Keluarga modern tidak lagi dilihat sebagai struktur dengan hierarki kaku, melainkan sebagai kemitraan dinamis yang bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan masing-masing anggota.
Kita sedang menyaksikan era di mana cinta, kerja sama, dan tanggung jawab mulai menembus batas label gender. Di mana suami bisa menjadi figur lembut tanpa kehilangan wibawa, dan istri bisa menjadi tulang punggung tanpa kehilangan kehangatan. Dan itu, pada dasarnya, bukan revolusi yang menakutkan melainkan bentuk lain dari keseimbangan yang lebih manusiawi.
Rumah tangga, pada akhirnya, bukan ajang pembuktian siapa yang lebih hebat atau lebih pantas. Ia adalah ruang bersama untuk tumbuh, berbagi, dan bertahan menghadapi hidup yang kadang tidak sesuai rencana. Dan di ruang itu, peran bapak rumah tangga hanyalah salah satu bentuk adaptasi, hasil negosiasi antara cinta dan realita.
Selama pasangan saling menghormati, tidak perlu ada yang merasa 'kurang laki-laki' atau 'terlalu dominan'. Karena yang membuat rumah tangga berjalan bukan siapa yang bekerja di luar, tapi siapa yang bersedia hadir sepenuhnya di dalam. Dan mungkin, di dunia yang terus berubah ini, itulah bentuk kejantanan baru. Bukan pada siapa yang paling kuat, tapi pada siapa yang paling berani untuk hadir sepenuh hati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI