Kalimat 'belum makan kalau belum makan nasi' sudah begitu akrab di telinga kita. Ia seperti mantra nasional yang diwariskan turun-temurun. Tapi di tengah upaya pemerintah untuk menghadirkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak sekolah, pertanyaan penting pun muncul, benarkah satu-satunya jalan menuju perut kenyang dan gizi seimbang harus lewat nasi?
Padahal, Indonesia kaya raya dengan sumber karbohidrat lokal, mulai dari jagung, ubi, sagu, kentang, hingga talas. Semua bisa diolah menjadi hidangan lezat, sehat, dan bergizi, bahkan lebih ramah lingkungan dibanding beras yang produksinya membutuhkan banyak air. Program MBG sesungguhnya membuka peluang besar untuk mengangkat potensi pangan lokal ini, agar anak-anak tak hanya makan kenyang, tapi juga makan bermakna karena bahan pangannya datang dari bumi mereka sendiri.
Dari Nasi ke Nasionalisme Rasa
Mari melangkah ke Timur, tepatnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana jagung menjadi raja meja makan. Di Timor, jagung bukan lauk, tapi sumber energi utama. Ia dikeringkan, digiling, lalu diolah menjadi berbagai makanan khas, seperti jagung bose, campuran jagung, kacang merah, dan santan yang gurih dan mengenyangkan. Ada pula katemak, sayur berkuah dengan jagung muda, daun pepaya, dan labu.
Bayangkan jika menu seperti ini dihadirkan dalam program MBG di wilayah NTT. Bahan bakunya melimpah, harganya terjangkau, dan sudah menjadi makanan sehari-hari masyarakat. Tak perlu memaksa anak-anak makan nasi jika jagung sudah terbukti memenuhi kebutuhan energi mereka. Dengan begitu, MBG tak hanya memberi gizi, tapi juga menegaskan identitas pangan daerah.
Selain itu, jagung kaya karbohidrat kompleks, serat, dan antioksidan. Ia baik untuk pencernaan, menjaga kadar gula darah, dan memberikan energi tahan lama. Semua hal yang dibutuhkan anak-anak agar kuat belajar dan bermain di sekolah.
Pindah ke wilayah lain, ubi dan singkong adalah bintang lama yang siap bersinar lagi lewat program MBG. Selama ini ubi sering dianggap 'makanan desa', padahal di era hidup sehat, justru banyak negara maju mempromosikan ubi sebagai superfood, makanan tinggi nutrisi dengan harga murah.
Ubi jalar, misalnya, mengandung beta-karoten, vitamin A, dan serat yang baik untuk pencernaan anak-anak. Sementara singkong kaya energi dan bisa diolah menjadi aneka bentuk, seperti tiwul dan getuk hingga singkong goreng keju atau brownies singkong yang modern dan disukai anak-anak.
Dalam konteks MBG, singkong dan ubi bisa menjadi solusi cerdas untuk penyediaan karbohidrat sehat dengan biaya produksi yang rendah. Di daerah Jawa Tengah atau Gunungkidul, misalnya, mengganti sebagian porsi nasi dengan tiwul akan membuat menu MBG lebih sesuai dengan kebiasaan lokal. Anak-anak pun tak merasa 'aneh' karena mereka sudah mengenal cita rasanya sejak kecil.
Sementara di bagian Timur lain Indonesia, sagu adalah sumber kehidupan. Di Maluku dan Papua, sagu bukan sekadar bahan pangan. Ia adalah jati diri. Dari batang pohon yang tampak biasa itu, lahirlah bubur bening kenyal yang disebut papeda, disajikan bersama ikan kuah kuning nan harum.
Untuk masyarakat Maluku dan Papua, papeda adalah simbol kesederhanaan dan kekuatan. Saat disajikan dalam MBG, papeda bukan hanya memberi asupan karbohidrat sehat, tapi juga rasa bangga karena diakui sebagai bagian dari kekayaan pangan nasional.