Antara 1982 dan 1985
Pertengahan tahun 1982
Tahun 1982, Nindi harus opname di sebuah rumah sakit swasta selama tujuh bulan penuh. Tujuh bulan---rekor terlama bagi pasien di sana.
Kenapa bisa begitu?
Ia menderita perdarahan setiap hari, padahal tengah hamil anak ketiga. Dokter saat itu masih sangat mengandalkan pemeriksaan manual, sebab teknologi medis belum secanggih sekarang. Sampel darah memang sudah dikirim ke rumah sakit provinsi, tetapi hasilnya tak kunjung datang. Selama itu pula Nindi dipertahankan dalam kondisi rawan.
Sebagai pasien yang diwajibkan berbaring, Nindi kerap kali "nakal." Ia tidak betah buang hajat dengan posisi telentang menggunakan pispot. Maka setiap malam, saat bangsal sudah sunyi, ia bertatih-tatih membawa infus menuju kamar kecil. Di situlah ia merasa lebih bebas. Jika perawat menanyakan, ia pandai berkelit---kadang mengaku sudah dibantu perawat lain. Begitulah, hingga mereka mungkin saling mengira. Namun akibatnya, perdarahan tak pernah berhenti.
Sementara itu, dua putra kecilnya---sulung belum genap tiga tahun, dan adiknya yang masih bayi---diasuh mertua. Suatu ketika, mertua dan keluarga besar harus pergi melayat ke luar kota, sehingga kedua balita dikembalikan kepada Nindi. Dalam keadaan hamil besar, tujuh hingga delapan bulan, ia pun meminta pulang paksa.
Hari itu ia bahkan mengajak suaminya membawa anak-anak rekreasi ke Senaputra, taman hiburan sederhana dengan kolam renang, kandang hewan, dan wahana permainan. Dua balitanya riang sekali. Namun, di tengah keceriaan itu, Nindi terpeleset. Kakinya hanya bergeser sedikit ke turunan lebih rendah, tetapi akibatnya sangat fatal.
Sore itu, perdarahan hebat tak tertahankan. Tanpa tenaga medis, hanya para tetangga yang bisa membantu sebisanya. Darah yang disangka keguguran ditampung dalam ember. Anehnya, gumpalan itu bergelembung hitam mirip gerombolan buah anggur.
Suami Nindi segera mencari pertolongan dokter dan dipinjami mobil VW Kodok untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Sayang, mobil itu justru terperosok ke parit kecil di gang. Sementara darah terus keluar, tubuh Nindi dibungkus plastik layaknya buah nangka yang diperam, agar bisa segera dibawa.
Sesampainya di rumah sakit, para perawat tak kuasa menahan tawa. "Wah, padahal tadi baru kami bicarakan. Lumayanlah, tidak perlu operasi besar---cukup kuret saja," kata salah seorang sambil terkekeh.