Diary Cat LoversÂ
Masih dini ketika langkahku menuju toilet sambil menggenggam doa yang belum rampung dua hari ini. Bibirku bergetar dalam dremimil lirih, menyebut nama seekor anak yang hilang: Cantik.
Dua hari lalu, dia masih mengikutiku ke mana-mana. Tapi sejak kemarin, rumah terasa kehilangan nadinya. Iyeng dan Tria, dua gadis kecil berbulu hitam---anak-anak Cantik---tampak gelisah. Mereka duduk di ambang pintu, tak mengeong, hanya menatap kosong, seolah menunggu kepastian yang tak kunjung datang.
Aku menangis dalam diam. Tuhan tahu betapa hati ini menanggung cemas yang meletup-letup di dada.
Lalu pagi datang membawa mukjizatnya sendiri. Saat aku melangkah ke dapur, Cantik sudah di sana. Diam berdiri di depan pintu, seolah tahu doaku belum selesai, dan air mataku belum kering.
Tanpa pikir panjang, kubopong tubuh mungilnya. Kuciumi pipinya. Kubisikkan, "Kamu ke mana saja, Nak? Mama nangis, tahu ..."
Ia mendengkur pelan, seperti membalas rindu. Aku segera menyiapkan makanan, lalu mempertemukannya dengan dua gadisnya. Mereka bertiga langsung saling mencium, bersisian kepala seperti sedang menganyam kembali benang-benang kasih yang sempat terputus. Aku tercekat. Air mataku kembali tumpah, tapi kali ini karena syukur.
Acara makan pagi pun berubah jadi perjamuan cinta. Kumoru, si Mbah Kung, datang mengeong kencang sambil mengepakkan ekor. Birahinya sedang tinggi, dan ia tak segan pamer suara. Si petualang satu ini memang suka pulang kalau lapar, lalu pergi kalau kenyang. Tapi hari ini, ia bergabung dalam pesta kecil itu.
Imut, yang masih bayi, tak kalah mencuri perhatian. Ia mengeong sambil ngompol dan beol sembarangan. Kubersihkan semua itu dengan senyum. Rumah boleh berantakan, tapi kasih harus tetap rapi.
Jelita ---si tuan putri ras --- pun tak kalah bikin ulah. Masa birahinya belum selesai, makannya pun jadi malas---harus disuapi satu-satu, sambil mengharap dielus-elus bokongnya dengan manja. Kadang aku heran, aku ini Mama, pelayan, atau perawat cinta?
Dan malam tadi, jangan ditanya. Dua kali aku mengusir si Hitam legam berkalung kelinting milik tetangga yang menyelonong masuk rumah. Tengah malam dan jam empat pagi, lengkap dengan semprotan selang. Karena kupikir inilah petaka yang membuat Cantik hengkang dari rumah. Namun, pagi ini, aku bisa tertawa mengingat semua itu. Karena rumah ini kembali hidup. Itu semua terjadi karena Cantik sudah pulang.
Di Ambang Pintu