Adanya berbagai tipe siswa yang sangat individual personal dan unik ini menuntut kreativitas tersendiri. Guru harus memahami kebutuhan masing-masing siswa. Karenanya, sangat bijak jika guru mampu melayani semua jenis kebutuhan siswanya. Untuk yang bertipe auditif, guru memanjakan siswa dengan suara lantang, jelas, dan apalagi jika sesekali diselingi nyanyian atau gaya berbicara suku lain (dialek Madura, Bali, Batak) dan sebagainya.Â
Yang bertipe visual mampu menyerap materi karena guru memanfaatkan kapur/spidol warna-warni, memberikan model diagram atau mind map di papan tulis, dan menggunakan media pendukung.Â
Sementara, sebagai pelayanan terhadap siswa yang berkebutuhan akan kemampuan motorisnya, mereka diminta menunjukkan, mencoba, menuliskan, dan lain-lain.
Otak manusia sebagaimana hard disk pada komputer memiliki kemampuan istimewa sekian juta megabites dalam mengingat. Sementara itu, ada berbagai tipe ingatan, misalnya ingatan yang setia, panjang, dan tahan lama. Agar apa yang diperoleh siswa tersimpan secara baik dan dalam jangka waktu lama dalam memori ingatannya, guru dapat memanfaatkan titian ingatan atau lazim disebut jembatan keledai.
Mengajar secara ceramah memang sudah kuno. Namun, guru masih perlu memberikan informasi secara ceramah ini. Siswa pun masih membutuhkan penjelasan secara informatif. Inilah saatnya guru memanfaatkan jembatan keledai tersebut ("Akronimisasi: Jembatan Keledai", Malang Post, 12 April 2009).Â
Caranya  tidaklah sulit, hanya memerlukan sedikit kreativitas. Toh sebenarnya, hal ini sudah pernah kita peroleh sejak kita bersekolah di SD. Guru-guru kita zaman dulu juga memanfaatkannya.Â
Misalnya untuk mengingat berbagai warna 'pelangi' kita terbantu oleh adanya jembatan keledai mejikuhibiniu (akronim dari merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu).Â
Ibu Dartirini dengan, "PB -- kemat -- PB -- kemat" sambil menggambar tangga ke arah atas. PBÂ adalah proses belajar, kemat adalah kematangan. Nah, proses belajar harus diikuti kematangan, dan selanjutnya kematangan yang diikuti proses belajar akan membawa hasil maksimal! Penulis pun masih mengingat beberapa nama sungai di Sumatera karena seorang guru memberikannya dengan sebuah lagu, "Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak, Rokan, dan Asahan dari Toba ke Selat Malaka" (maaf, penulis tak menyertakan notasinya).
Dalam rangka menyiasati keterbatasan daya ingat, penulis memberdayakan titian ingatan. Sebagai contoh, dalam pembelajaran bahasa Indonesia dengan materi karya tulis ilmiah sederhana di kelas IX SMP, siswa harus memiliki pengetahuan dan kemampuan menuliskan daftar pustaka. Selain diminta mencermati Daftar Pustaka yang ada di beberapa buku (maaf, kadang-kadang ada yang tidak sesuai aturan) guru pun memberikan aturan penulisan secara teoretis.
Penulisan daftar pustaka harus mengikuti aturan secara internasional, yakni nama pengarang yang memiliki dua kata atau lebih harus dibalik. Artinya, kata terakhir pada nama pengarang justru diletakkan di depan, kemudian diikuti kata berikutnya.Â
Nama pengarang yang sudah disusun dengan pembalikan tersebut diurutkan secara alfabetis. Kemudian, dituliskan tahun terbit buku yang dirujuk, judul buku yang dirujuk (yang harus ditulis dengan huruf miring), kota tempat buku tersebut diterbitkan (yang diakhiri dengan tanda baca titik dua), dan diikuti nama penerbitnya.