Mohon tunggu...
Septia NinditaPutri
Septia NinditaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halooo...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelora Revolusi di Selatan Yogyakarta: Peranan Desa-desa di Imogiri Pada Masa Perang Kemerdekaan II (1948-1949)

28 Mei 2023   15:00 Diperbarui: 28 Mei 2023   20:57 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PENDAHULUAN

Gelora api perjuangan rakyat Indonesia nyatanya masih membara walaupun telah tersiar kata “merdeka” di mana-mana. Adanya intervensi dan ambisi dari bangsa asing untuk tetap menguasai Indonesia mendorong pecahnya perlawanan rakyat. Pasca proklamasi kemerdekaan, jalannya roda pemerintahan dan militer masih diwarnai lika-liku tak berkesudahan. Hal ini disebabkan oleh Jepang yang belum bisa melepaskan Indonesia secara penuh. Berkat kegigihan perlawanan rakyat Indonesia, Jepang akhirnya menyerah pada bulan Oktober 1945 (Winarni, dkk, 2013). Namun, belum sempat kering darah dan air mata para pejuang, Indonesia harus tetap berdiri kokoh menghadapi kedatangan tentara sekutu (AFNEI) yang diboncengi oleh pasukan Belanda (NICA).

Kembalinya Belanda dianggap menjadi ancaman serius bagi eksistensi pemerintahan Indonesia yang baru saja merdeka. Belanda mulai mengganggu keamanan rakyat dengan cara memprovokasi dan melakukan aksi penculikan maupun pembunuhan. Belanda juga menuntut agar kekuasaannya di Indonesia diakui kembali. Melihat situasi dan kondisi Jakarta yang sudah tidak aman, Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai raja Yogyakarta, mengirimkan pesan ke Jakarta yang berisi bahwa Yogyakarta siap menjadi pusat pemerintahan RI yang baru. Setelah dipertimbangkan, ibu kota negara dipindah ke Yogyakarta secara diam-diam pada Januari 1946 (Margana, dkk, 2022).

Setelah ibu kota negara berpindah ke Yogyakarta, terjadi serangan dari Belanda yang berangsur dua tahap. Serangan ini dilancarkan karena desakan dari Negara Belanda yang berambisi untuk sesegera mungkin ingin menguasai Indonesia kembali. Serangan pertama disebut dengan Agresi Militer Belanda I yang meletus pada Juli 1947. Kemudian, pada bulan Desember 1948, Belanda melancarkan operasi pamungkas terhadap Indonesia yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda II. Operasi ini bertujuan untuk menghancurkan Yogyakarta dan membuktikan secara de facto bahwa RI dan TNI sudah tidak ada.

Akan tetapi, upaya belanda untuk menghancurkan Yogyakarta rupanya menuai kegagalan. Masa dimana seluruh rakyat bersatu untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan tujuan mempertahankan kemerdekaan disebut sebagai masa revolusi (Uddin, dkk, 2020). Pada masa revolusi, sistem pemerintahan dan operasi militer yang diberlakukan oleh Indonesia adalah sistem gerilya yang melibatkan partisipasi seluruh rakyat. Hal ini memungkinkan rakyat dapat berperan dalam perjuangan, baik yang mengangkat senjata maupun yang berada di garis belakang seperti palang merah, kurir, dapur umum, maupun mata-mata.

Suasana revolusi mulai mewarnai kehidupan pedesaan pada periode 1948-1949. Wilayah pedesaan ini berperan sebagai tempat pertahanan dan pengungsian. Bantul yang berada di sebelah selatan Yogyakarta merupakan daerah yang tidak dapat terlepaskan dari sejarah perjuangan bangsa. Kondisi geografis Bantul dipertimbangkan sebagai salah satu kawasan gerilya, pengungsian, dan markas para pejuang secara diam-diam. Imogiri menjadi salah satu daerah di Bantul yang memiliki peran penting dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dengan pengorbanan masyarakatnya berwujud harta maupun tenaga. Wilayah strategis dan kondisi geografis yang terjal menjadikan Imogiri dipilih sebagai tempat pertahanan, persembunyian, dan pengungsian. (Uddin, dkk, 2020)


PEMBAHASAN 

A. Sekilas Revolusi di Selatan Yogyakarta

Api perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di wilayah Bantul mulai memanas setelah meletusnya Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948. Keterlibatan Bantul dalam rangkaian benang merah perjuangan dimulai saat Jenderal Soedirman memerintahkan untuk memberlakukan sistem pertahanan gerilya melalui Perintah Kilat nomor 1 (Margana, dkk 2022).  Menurut A.H Nasution (2013) sebagaimana yang dikutip oleh Aris (2019), sistem pertahanan gerilya merupakan perang dengan cara sembunyi-sembunyi untuk mengelabuhi musuh agar dapat melakukan serangan kilat. Perang gerilya ini dilakukan dengan berjalan dari Kota Yogyakarta menuju Bantul, Gunung Kidul, kemudian beberapa wilayah Jawa Timur hingga akhirnya kembali ke Yogyakarta kembali.

Bantul menjadi daerah penting karena menjadi markas utama kekuatan militer wehrkreise III yang dipimpin oleh Letkol Soeharto. Markas tersebut berada di Desa Segoroyoso yang kemudian pindah menuju Desa Bibis setelah dirasa tidak aman. Di desa ini, Letkol Soeharto menghimpun konsolidasi untuk merencanakan strategi penyerangan terhadap pos-pos belanda yang ada di wilayah Yogyakarta hingga puncaknya melangsungkan Serangan Umum 1 Maret 1949. Kemudian pada 29 Desember 1949, pasukan wehrkreise III dibawah Letkol Soeharto dan subwerkreise 102 Bantul dibawah Mayor Sardjono melakukan penyerangan terhadap pos Belanda dari arah selatan. Hal ini menyebabkan Belanda melakukan pembersihan dengan menyerang daerah-daerah di Bantul bagian timur. Selain itu, Bantul juga berperan sebagai markas beberapa pasukan penting seperti, Pasukan Pelajar Pertempuran (P3) tepatnya di daera Siluk dan Pasukan Kolonel Zulkifli Lubis (intel) yang bermarkas di Imogiri. Bantul juga menjadi daerah yang dianggap aman sebagai tempat persembunyian oleh para pejuang dan pengungsian bagi masyarakat yang terdampak Agresi Militer Belanda II (Uddin, dkk, 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun