Mohon tunggu...
eny mastuti
eny mastuti Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang remaja. Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akhir Sebuah Mangga

5 Desember 2017   21:11 Diperbarui: 5 Desember 2017   21:17 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di samping rumah, ada pohon mangga. Saya iseng memperhatikan  dimana mangga-mangga dari pohon itu berakhir.

Jawabannya, sangat tergantung kepada siapa konsumen nya. Manusia atau binatang.  Binatang pemangsa mangga adalah serangga (lalat dan ulat) serta codot/kelelawar. Nah..  terkait siapa yang memakan mangga ini, pilihan jawaban dimana mangga berakhir adalah :  bisa di atas sebuah piring, bisa di bak sampah, atau di atas tanah tak jauh dari pohon mangga itu sendiri.

Dalam kaca mata manusia , buah mangga idealnya berakhir dalam sebuah piring makan. Untuk disantap sebagai hidangan. Dan dia berpotensi diperlakukan secara terhormat. Karena tampilan yang menggoda, menggugah selera.

Tetapi sebuah mangga juga bisa berakhir dalam tong sampah, meskipun dia masih relatif utuh. Asannya karena dia telah cacat, terluka dalam. Meskipun tak terlalu kasat mata, namun luka itu membuat nya tak sempurna. Tak layak dimakan. Luka yang diakibatkan oleh serangan lalat buah atau ulat atau serangga lain.

Sebiji mangga masak juga mungkin berakhir sebagai santapan codot, kelelawar. Buah mangga tetap menggantung di pohon, tetapi wujudnya tidak utuh lagi. Terkoyak kulitnya, tampak daging buahnya, bahkan biji nya pun bisa dilihat dari jarak beberapa meter.

Codot butuh  waktu beberapa hari untuk menghabiskan sebiji mangga. Sehingga mangga yang masak tapi terkoyak  berwarna kuning kemerahan,  tetap eksis di pohon meskipun kondisi nya "mengenaskan."

Kemudian  berakhir jatuh di tanah tak jauh dari pohonnya. Kotor berbalut tanah dan debu serta dikerubuti lalat.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Bertumbuh, menua, ranum/ matang adalah proses umum yang dilewati buah mangga. Menghadirkan segenap 'tubuhnya' untuk dinikmati makhluk lain, adalah penyerahan atau bahkan penghormatan terakhirnya. Entah kepada siapa, manusia atau hewan penyuka buah, atau bahkan bukan kepada siapa-siapa, karena dia membusuk sia-sia.

Apakah para mangga dapat memilih akhir hidupnya? Pada sebuah piring, dalam tong sampah atau jatuh tergolek tanpa daya? Sejauh ini, saya yakin tidak. Karena mangga tak dibekali  akal dan kuasa merubah nasib. Dia harus ikhlas menerima ketika ranum dan harumnya berakhir dalam cabik-cabikan codot selama berhari-hari.

Dia juga tak bisa memilih, misalnya untuk dapat berakhir dalam es krim mangga thai yang kekininian itu. Dia hanya harus terima nasib.  Menjalani akhirnya , dengan segenap keikhlasan, tanpa penolakan. 

Bagaimana dengan kita, manusia? Bisakah kita memilih seperti apa  ending  hidup kita nanti? Mampu kah kita merubah nasib agar lebih baik daripada kemarin dan hari ini?  Jawabnya, BISA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun