Dulu ketika masih mahasiswa saya selalu merutuk tentang kondisi negara disuatu negara yang konon menurut data Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) tahun 2018 selalu dapat skor 72 dari 77 negara untuk membaca, 72 dari 78 negara untuk matematika dan nilai 70 dari 78 negara untuk sains. Skor yang selalu konsisten rendah dari tahun ke tahun.
Angka itu seringkali menjadi perdebatan oleh para pegiat literasi. Toh kenyataan di lapangan banyak juga anak-anak yang tinggal di kampung-kampung suka baca buku. Emang sialnya aja jarang ada buku anak-anak disana.
Waktu berlalu dan menjadi pendidik, saya sadar tantangannya lebih besar daripada itu. Buku itu sendiri harus selalu mengalah dengan gim Freefire, Tik Tok dan lain-lain.
Mau beli bukupun tahu sendirilah harga buku ORI itu berapa. Lebih baik buat jajan atau top up diamond, ha ha ha.
Ada sih aplikasi gratis baca seperti IPusnas, tapi ya itu mata juga lama-lama sakit lihat hp untuk baca tulisan kecil-kecil. Itupun penggunaannya tidak semudah membaca novel gratis di aplikasi Wattpad. Ini saya ketahui dari anak-anak yang terus bertanya cara baca buku di IPusnas.
Itu untuk kategori keluarga yang mampu. Jika ada yang kurang mampu ya mereka tentu lebih memilih makan daripada kuota dan buku.
Walau pada akhirnya ponsel juga terpaksa dibelikan untuk "mengatasi" kenakalan anak-anak. Pada akhirnya di ponsel anak-anak lebih suka bermain gim agar tidak dibilang "kuno" oleh teman-temannya. Akhirnya orang tua sendiri yang kesulitan menghadapi kecanduan anak-anaknya bermain ponsel. Akhirnya gim lagi yang salah.
Ujung-ujungnya ya saya sadar penyelesaiannya tidak semudah yang saya kira. Apalagi di era pandemi. Memang sih semakin dekat dengan hp yang ujung-ujungnya bermain gim. Tapi  ya mau gimana lagi. Kita harus nerima keadaan ini.
Pada akhirnya saya sadar toh memperbaiki itu tidak semudah bacotan saya ketika masih mahasiswa.
Ketika saya menulis ini saya mengenang jaman sekolah dulu. Waktu itu hanya ada petugas pustaka dan beberapa siswa perempuan. Tak ada guru disana. Waktu berlalu, ketika kuliah saya menemukan kondisi serupa. Ah.