Dendeng Ragi, demikian kami menyebutnya. Masakan yang menjadi kesukaan dan dibuat dengan resep turun temurun. Entah apa namanya di tempat lain. Mungkin ada yang menyebutnya srundeng.Â
Dahulu Mbah Putriku (Ibu dari Ibuku) dan Mbokku (ibu dari bapak) suka sekali menyajikannya. Jika keluarga sedang berkumpul, beliau berdua sengaja menyisihkan uang untuk membeli daging sapi. Saat itu pasti masuk kebutuhan tersier bagi mereka. Kami belum tentu sebulan sekali menemukan menu daging sapi.
Menu dendeng ragi adalah menu mahal yang sesekali disediakan oleh beliau berdua.
"Nggawene suwi, ndhuk." Kata beliau jika aku minta untuk dibuatkan. Mungkin alasan itu dibuat karena beliau berdua memang harus ekstra menabung untuk menyiapkannya bagi kami. Maka jika hendak pulang dari tempat kost dan beliau memiliki uang lebih akan dibuatkannya.
Pernah suatu saat aku menemani beliau membuatnya. Di atas tungku atau luweng dengan api yang berasal dari kepulan daun kelapa atau blarak dan kulit kelapa kering atau sepet. Daging sapi yang hanya beberapa ons diiris tipis dan dicampur denganparutan kelapa muda. Lantas dimasukkan wajan. Minyak kelapa hasil klentikan sendiri dipakai sebagai bahan penggorengnya. Minyak yang sedikit membuat tangan harus rajin menggorang agar tidak gosong.
Demikian juga ketika Mbah Putriku yang tinggal di Wuluhan Jember, menyiapkannya saat kami hendak berkunjung. Aku juga pernah menemani beliau membuatnya.Â
Saat itu aku sedang liburan kuliah dan menikmatinya di rumah beliau. Satu hal yang terekam, lama banget prosesnya. Mesti mencampur bumbu, kemudian membuatnya bercampur antara kelapa dan daging, lantas digumpalkan membentuk bulatan-bulatan sebesar genggaman tangan baru kemudian di masukkan ke wajan berisi minyak. Barulah proses yang lama itu dimulai.
Sekarang, masakan legendaris itu mulai populer justru ketika ibuku sudah memasuki usia 70 tahun. Dulu ketika aku rindu masakan Mbak Putri dan Mbokku, ibu hanya menjawab pendek dan menurut pengetahuanku memang benar.