Program Asistensi Mengajar (AM) merupakan salah satu bentuk pembelajaran berbasis pengalaman yang dirancang untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa calon guru agar dapat merasakan langsung dinamika dunia pendidikan di lapangan. Selama empat bulan atau 16 minggu, saya diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam program ini di SMP Negeri 6 Malang. Pengalaman tersebut memberikan pelajaran yang tidak ternilai dan memperluas cakrawala pemahaman saya tentang dunia pendidikan, jauh melampaui teori yang saya peroleh di ruang kuliah.
Tahap awal kegiatan AM diawali dengan penyusunan struktur organisasi kelompok. Pemilihan ketua, koordinator program studi, serta pembagian tugas lainnya dilakukan secara demokratis dan sistematis agar pelaksanaan program dapat berjalan efektif. Koordinasi dengan pihak sekolah mitra juga dilakukan untuk menyelaraskan jadwal kegiatan serta memastikan kesiapan kedua belah pihak dalam pelaksanaan AM.
Sebanyak 19 mahasiswa dari lima program studi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang tergabung dalam kegiatan ini. Komposisinya terdiri dari empat mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, empat mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa Inggris, empat mahasiswa S1 Pendidikan Seni Rupa, empat mahasiswa S1 Pendidikan Jasmani, Kesehatan, dan Rekreasi, serta tiga mahasiswa S1 Bimbingan dan Konseling. Keberagaman latar belakang ini menjadi kekuatan dalam melengkapi satu sama lain, sekaligus memperkaya proses interaksi dan kolaborasi selama program berlangsung.
Meskipun sempat terjadi kendala dalam penetapan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), melalui komunikasi yang baik dan musyawarah, permasalahan tersebut dapat diselesaikan tanpa mengganggu kelangsungan program. Sekolah menyambut kami dengan hangat dan penuh keterbukaan. Kami merasa dihargai dan diberi ruang untuk berkontribusi sesuai kapasitas masing-masing.
Saya ditempatkan di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan dibimbing oleh Bapak Dafi Rosyiduddin, S.Pd. Hari-hari awal dimulai dengan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah, sesi perkenalan dengan guru pamong, serta observasi proses pembelajaran. Dari interaksi awal ini, saya belajar bahwa kedekatan emosional dan komunikasi yang baik antara guru dan siswa merupakan fondasi utama dalam menciptakan suasana belajar yang positif.
Saya mendapat tugas mengajar di kelas 7.3 yang terdiri dari 32 siswa. Awalnya, saya merasa gugup dan penuh kekhawatiran akan kemampuan diri dalam mengelola kelas. Namun, dukungan guru pamong, teman sejawat, serta keterbukaan siswa dalam menerima saya, membuat proses transisi dari mahasiswa menjadi “guru” terasa lebih ringan. Proses belajar dilakukan secara bertahap. Pada dua minggu pertama, saya menjalani pendampingan intensif, di mana guru pamong hadir secara aktif dalam setiap sesi pembelajaran, memberikan masukan, serta mengevaluasi strategi dan pendekatan yang saya gunakan.
Sebelum mengajar, saya selalu menyusun perangkat ajar seperti Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), media pembelajaran, serta lembar evaluasi hasil belajar. Seluruh perangkat tersebut dikonsultasikan terlebih dahulu dengan guru pamong. Praktik ini sangat membantu saya dalam memahami pentingnya perencanaan dan adaptasi strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik. Setelah masa pendampingan berakhir, saya diberikan tanggung jawab penuh terhadap kelas tersebut hingga akhir program.
Mengelola kelas bukanlah hal mudah. Saya harus beradaptasi dengan berbagai karakter siswa yang unik, mulai dari yang aktif hingga yang pasif, dari yang antusias belajar hingga yang cenderung diam dan tidak percaya diri. Tantangan utama yang saya hadapi adalah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan namun tetap kondusif. Dalam situasi ini, saya belajar banyak tentang pentingnya fleksibilitas pendekatan, kemampuan membaca situasi kelas, serta seni membangun komunikasi yang efektif.
Tidak hanya kegiatan mengajar, saya juga berpartisipasi dalam kegiatan non-akademik seperti piket pagi, pengawasan ujian, pelaksanaan upacara, serta keterlibatan dalam kegiatan berbasis proyek seperti P5 dan Literaloka. Pengalaman ini memperkaya pemahaman saya bahwa peran guru tidak terbatas pada kegiatan belajar-mengajar, melainkan juga mencakup peran sebagai pembimbing, fasilitator, bahkan organisator kegiatan sekolah.
Salah satu pengalaman paling berkesan bagi saya adalah keterlibatan dalam kegiatan Literaloka, sebuah komunitas literasi sekolah yang fokus pada pengelolaan majalah dinding (mading). Mading yang semula terbengkalai kami hidupkan kembali melalui bimbingan dan kolaborasi dengan para siswa. Kami mengajak mereka menulis puisi, cerpen, membuat poster dan infografis yang tidak hanya menarik secara visual, tetapi juga bermakna secara isi.