Mohon tunggu...
Niken Meileni
Niken Meileni Mohon Tunggu... Mahasiswa - POLTEKIP

further information meileniken@gmail.com Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Pengenalan Konsep Pemasyarakatan bagi Siswa Melalui Pendidikan Kewarganegaraan

17 Juni 2021   14:30 Diperbarui: 17 Juni 2021   14:48 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada 5 Juli 1963 Menteri Kehakiman bernama Prof. Sahardjo, S.H. mengemukakan sistem pemasyarakatan sebagai pengganti sistem kepenjaraan untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana. Istilah kepenjaraan diganti menjadi pemasyarakatan sebagai suatu bentuk proses pembinaan warga binaan pemasyarakatan sesuai dengan tujuan pemasyarakatan, yaitu reintegrasi social. Gagasan mengenai sistem pemasyarakatan tersebut kemudian direalisasikan dan dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Sistem pemasyarakatan yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan dilakukan guna membina Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya dan manusia yang menyadari akan kesalahan yang pernah dibuatnya sehingga diharapkan tidak akan mengulangi kembali kesalahan yang pernah dilakukan. Selain itu, sistem pemasyarakatan juga dilakukan guna untuk memperbaiki hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat. Dapat dikatakan pula bahwa sistem pemasyarakatan ini berusaha untuk memanusiakan manusia, dalam hal ini, yaitu narapidana setelah keluar dari masa hukuman.

Sistem ini pada dasarnya memiliki tiga tujuan utama,yaitu memperbaiki hidup, kehidupan, dan penghidupan.

Memperbaiki hidup berarti yaitu memperbaiki hubungan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Memperbaiki kehidupan berhubungan dengan interaksi sosial yang dilakukan Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat nantinya setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dan yang terakhir, yaitu memperbaiki penghidupan artinya sistem pemasyarakatan ini berusaha mengembalikan peluang atau kesempatan kerja Warga Binaan Pemasyarakatan dengan memberi bekal skill yang nantinya bisa diterapkan dalam kehidupan masyarakat setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.

Meskipun regulasi mengenai sistem pemasyarakatan sudah lama disahkan, masih terdapat persoalan-persoalan yang belum terselesaikan. Salah satu yang cukup masif adalah adanya stigma yang melekat pada mantan narapidana. Sebagian masyarakat tetap memandang bahwa mantan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah orang yang telah berbuat jahat dan melanggar norma yang berlaku, sehingga perlu diwaspadai dan tidak diberi keleluasaan sebagaiamana orang pada umumnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah masyarakat yang belum memahami sistem pemasyarakatan. 

Persoalan di atas menjadi tantangan berbagai pihak untuk diatasi. Mengingat penyelesaian secara parsial tidak akan efektif dan efisien. Selain faktor masyarakat, ada juga faktor hukum yang belum mengatur secara jelas mengenai kerjasama dengan pihak ketiga dalam pembinaan narapidana. Faktor fasilitas lembaga pemasyarakatan juga sangat menentukan keberhasilan pembiaan narapidana untuk mampu berintegrasi kembali dengan masyarakat setelah menajalani masa pidana.

Faktor masyarakat yang belum memahami sistem pemasyarakatan memiliki korelasi dengan dunia pendidikan.

Pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan masyarakat yang mendukung tercapainya tujuan pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah media yang tepat untuk menciptakan generasi yang menjadi agen pencerah mengenai pemasyarakatan. Dengan diberikannya ilmu Pendidikan Kewarganegaraan bagi siswa, diharapkan mereka memiliki pengetahuan dan karakter yang baik untuk berperan serta dalam membangun negara sebagai bagian dari kewajiban seorang warga negara. Sebagaimana tertuang dalam tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang tersurat pada Pasal 37 Ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sikap toleransi juga memiilki hubungan yang signifikan dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan Kewarganegaraan  mampu meningkatkan sikap toleransi terhadap siswa.[3]

Pendidikan Kewarganegaraan sendiri hadir bukan lah tanpa permasalahan. Misalnya anggapan dari siswa bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah materi kurang variatif, terlalu indoktrinatif, bernuansa militeristik, kurang up to date, dan kurang relevan dengan program studi yang siswa pelajari.  Oleh karena itu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan perlu pendekatan yang variatif. Misalnya pendekatan kontekstual, konstruktivisme, dan pendekatan open-ended. Pendekatan konstruktivisme dapat diwujudkan dengan project citizen yang dapat membantu siswa mengaitkan pelajaran dan dunia nyata. Pendekatan kontekstual dipraktikan dengan menyesuaikan dengan program studi atau lingkungan. Sedangkan pendekatan open ended dapat dipraktikan dengan melalui forum group discussion maupun metode lain yang dapat meningkatkan interaksi dan keaktifan siswa. Ketiga pendekatan tersebut dirokemendasikan kepada guru untuk dapat melakukan pembelajaran yang up to date sesuai kearifan lokal dan perkembangan zaman.[4] Diharapkan dengan adanya pengenalan sistem pemasyarakatan sejak dini melalui Pendidikan Kewarganegaraan, dapat mengubah pola pikir masyarakat. Sehingga masyarakat dapat berperan dalam meyukseskan tujuan dari sistem pemasyarakatan.

 

DAFTAR PUSTAKA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun