Mohon tunggu...
NI KADEK NOVA CITRA LESTARI
NI KADEK NOVA CITRA LESTARI Mohon Tunggu... Mahasiswa

Merupakan Mahasiswa di Universitas Pendidikan Ganesha dengan program studi Kimia Terapan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apakah Hindu Termasuk Agama Politeistik? Memahami Konsep Ketuhanan Dalam Hindu

28 September 2025   14:51 Diperbarui: 28 September 2025   14:51 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hindu dikenal sebagai salah satu agama tertua di dunia, dengan sejarah yang sangat panjang serta tradisi, mitologi, dan pemikiran filsafat yang sangat kaya dan beragam. Meski begitu, masih terus muncul perdebatan klasik di kalangan akademisi maupun masyarakat: apakah Hindu bisa digolongkan sebagai agama politeisme karena adanya pemujaan banyak dewa, atau justru memiliki pemahaman ketuhanan yang jauh lebih kompleks dan mendalam?

Bagi orang luar, menyaksikan umat Hindu berdoa kepada Siwa, Wisnu, Saraswati, atau dewa-dewi lain mungkin secara spontan menimbulkan kesan bahwa Hindu sama seperti agama Yunani Kuno atau Mesir Kuno yang jelas-jelas politeistik. Akan tetapi, anggapan tersebut sebenarnya terlalu sederhana dan belum mencerminkan pemahaman yang sesungguhnya. Untuk memahaminya, kita perlu melihat lebih dalam konsep dasar ketuhanan Hindu, cara umat menjalankan praktiknya, serta perbedaan sudut pandang antara penilaian eksternal dengan pemahaman internal umat Hindu sendiri yang penuh makna spiritual.

Dalam filsafat Hindu, realitas tertinggi disebut Brahman. Brahman diyakini sebagai sumber segala yang ada, tidak berbentuk, tidak terbatas, dan melampaui kemampuan pancaindra manusia. Ia dipandang sebagai satu-satunya realitas absolut yang menjadi asal sekaligus tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada di alam semesta. Sementara itu, di Bali, umat Hindu menggunakan istilah Sang Hyang Widhi Wasa untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa. Istilah ini berkembang karena proses sinkretisme budaya dan usaha penyesuaian ajaran Hindu dengan identitas nasional Indonesia, terutama pada abad ke-20, menjelang dan setelah kemerdekaan., kemudian diperkuat kembali pada masa perumusan Pancasila, agar sejalan dengan sila pertama: "Ketuhanan Yang Maha Esa." Artinya, meskipun istilahnya berbeda, inti keyakinan tetap sama: umat Hindu percaya kepada satu Tuhan transenden yang tak tergambarkan secara penuh.

Namun, dalam praktik sehari-hari, Hindu memang mengenal ribuan dewa. Yang paling terkenal adalah Trimurti:

  • Brahma sebagai pencipta segala alam semesta,
  • Wisnu sebagai pemelihara kehidupan,
  • Siwa sebagai pelebur atau transformator alam semesta.

Selain itu, ada pula para dewi yang menempati posisi penting dalam kehidupan spiritual umat Hindu, misalnya:

  • Saraswati (dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan),
  • Lakshmi (dewi kemakmuran dan keberuntungan),
  • Parwati (dewi kesuburan dan cinta),
  • Durga dan Kali (dewi pelindung sekaligus simbol kekuatan dan perlindungan spiritual).

Meski jumlahnya sangat banyak, para dewa tersebut tidak dipandang sebagai Tuhan yang berdiri sendiri, melainkan manifestasi dari Brahman yang sama. Dengan kata lain, mereka adalah wujud atau perantara yang memudahkan manusia menjalin hubungan spiritual dengan Tuhan yang Maha Esa. Misalnya, seorang pelajar yang berdoa kepada Dewi Saraswati sejatinya tetap menghadap pada Tuhan, hanya saja dalam wujud pengetahuan yang memfasilitasi proses belajar dan pencerahan batin.

Di sinilah letak persoalan penting. Dari luar, Hindu memang terlihat politeistik karena ada banyak dewa yang dipuja. Namun, dari sudut pandang internal umat Hindu, semua dewa hanyalah representasi dari satu realitas tunggal yang sama. Hal ini ditegaskan dalam Rg Veda (1.164.46): "Ekam sat vipra bahudha vadanti" --- Yang Esa itu ada, tetapi para bijak menyebut-Nya dengan banyak nama. Ayat ini menjadi dasar keyakinan bahwa Hindu sesungguhnya bukan politeisme murni, melainkan henoteisme: meyakini adanya satu Tuhan tertinggi, tetapi menerima keberagaman wujud manifestasinya sebagai jalan spiritual yang beragam.

Agar lebih jelas, mari bandingkan dengan sistem kepercayaan lain:

  • Monoteisme murni (Islam, Kristen, Yahudi): hanya ada satu Tuhan tanpa perwujudan lain yang terpisah.
  • Politeisme murni (Yunani atau Mesir Kuno): terdapat banyak dewa yang berkuasa secara terpisah satu sama lain.
  • Henoteisme (Hindu): Tuhan tetap satu, yakni Brahman, namun hadir dalam banyak manifestasi yang dapat disembah sesuai kebutuhan umat yang beragam.

Sejarah menunjukkan bahwa konsep banyak dewa dalam Hindu telah ada sejak masa Veda, ketika orang Arya memuja dewa alam seperti Indra (dewa hujan), Agni (dewa api), dan Vayu (dewa angin). Namun, perkembangan filsafat dalam Upanishad kemudian menegaskan bahwa semua dewa itu hanyalah aspek dari Brahman. Saat Hindu menyebar ke Nusantara, khususnya Bali, unsur budaya lokal ikut menyatu, sehingga lahir spiritualitas khas yang salah satunya diwujudkan dalam istilah Sang Hyang Widhi Wasa sebagai jembatan antara filsafat Hindu India dan identitas budaya bangsa Indonesia.

Dari sudut pandang luar, khususnya peneliti Barat abad ke-19, Hindu sering dianggap politeistik karena tampak penuh dengan dewa-dewi dan ritual yang beragam. Tetapi bagi umat Hindu sendiri, kenyataannya jauh lebih dalam: semua dewa hanyalah jalan menuju satu tujuan yang sama. Analogi yang sering dipakai adalah Tuhan ibarat matahari, sementara para dewa dan dewi adalah sinar yang terpancar darinya, memberikan cahaya dengan cara yang berbeda namun berasal dari sumber yang sama.

Contoh praktik di Bali memperkuat pemahaman ini:

  • Hari Saraswati, umat menghaturkan sesajen pada buku dan lontar untuk menghormati Dewi Saraswati sebagai lambang ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
  • Hari Galungan dan Kuningan, umat merayakan kemenangan dharma melawan adharma, dengan persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam berbagai manifestasi.
  • Hari Nyepi, umat menjalankan tapa, brata, yoga, dan semadhi sebagai upaya mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Esa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun