Pendahuluan
Sastra merupakan salah satu medium paling kuat dalam merekam dan mengungkapkan dinamika sosial. Melalui pendekatan sosiologi sastra, kita memahami bahwa karya sastra bukanlah sekadar produk imajinasi, tetapi juga cerminan dari kondisi sosial, budaya, dan ideologi masyarakat pada masa tertentu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wellek dan Warren (1993), "sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial." Oleh sebab itu, pendekatan ini menempatkan karya sastra sebagai objek yang tidak hanya menyampaikan cerita, tetapi juga berperan dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat.
Dalam konteks ini, novel Totto-chan: The Little Girl at the Window karya Tetsuko Kuroyanagi menjadi karya yang relevan untuk dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra. Novel ini bukan hanya sebuah kisah autobiografi masa kecil sang penulis, melainkan juga sebuah refleksi dan kritik terhadap sistem pendidikan Jepang yang berlaku pada masa sebelum dan selama Perang Dunia II. Melalui pengalaman pribadi Totto-chan dan pendidikan alternatif yang ia terima di sekolah Tomoe, pembaca diajak melihat ketimpangan sosial dan sistem pendidikan yang tidak ramah terhadap keberagaman karakter anak-anak.
Novel ini menunjukkan adanya pertentangan antara sistem pendidikan konvensional yang menuntut keteraturan dan keseragaman, dengan pendidikan yang menghargai kebebasan dan ekspresi individu. Dalam kerangka sosiologi sastra, Totto-chan dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan halus terhadap kekakuan sistem pendidikan serta sebagai upaya mengadvokasi model pendidikan yang lebih humanis dan inklusif.
Latar Belakang
Jepang pada era sebelum dan selama Perang Dunia II merupakan masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai kedisiplinan, keteraturan, dan keseragaman. Nilai-nilai ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Sekolah-sekolah pada masa itu menerapkan metode pendidikan yang menekankan ketaatan mutlak kepada guru, penggunaan metode belajar yang seragam, dan penghapusan segala bentuk perilaku yang dianggap menyimpang dari norma kolektif. Hal ini sesuai dengan cita-cita nasionalistik dan militeristik Jepang saat itu, yang bertujuan membentuk warga negara yang patuh, seragam, dan siap mengabdi pada negara.
Dalam sistem semacam itu, anak-anak yang memiliki karakter unik, kreatif, atau tidak bisa duduk diam dalam waktu lama seringkali dianggap sebagai "bermasalah". Mereka tidak diberi ruang untuk mengekspresikan diri, melainkan ditekan agar menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku. Penyeragaman ini mengabaikan keunikan individu dan potensi khas yang dimiliki setiap anak.
Novel Totto-chan menggambarkan situasi tersebut dengan sangat kuat. Tokoh utama, Totto-chan, dikeluarkan dari sekolah pertamanya karena dianggap "terlalu aktif" dan "tidak bisa mengikuti aturan kelas". Ia adalah representasi anak-anak yang tertolak oleh sistem, bukan karena ia tidak cerdas, tetapi karena sistem tidak memberikan ruang
untuk anak-anak seperti dirinya berkembang. Dalam konteks ini, Totto-chan menjadi penting karena menyuarakan kritik terhadap sistem pendidikan Jepang yang lebih mengutamakan keteraturan daripada keberagaman.
Kemunculan sekolah Tomoe, tempat Totto-chan akhirnya diterima, menjadi simbol dari resistensi terhadap sistem pendidikan konvensional. Sekolah ini dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi, sosok visioner yang percaya bahwa pendidikan harus membebaskan, menyenangkan, dan disesuaikan dengan karakter anak. Dalam masyarakat Jepang yang saat itu masih sangat konservatif dan terstruktur, pendekatan yang dilakukan oleh Kobayashi adalah bentuk keberanian sosial yang langka.
Melalui kisah Totto-chan, masyarakat Jepang pasca-perang diajak merenungkan kembali nilai-nilai yang telah mengakar dalam sistem sosial dan pendidikan mereka. Novel ini seolah menjadi ruang dialog antara masa lalu yang mengekang dan harapan akan masa depan yang lebih inklusif. Dengan demikian, latar belakang sosial dan sejarah Jepang menjadi fondasi penting untuk memahami mengapa Totto-chan bukan sekadar kisah pribadi, tetapi juga sebuah dokumen sosial yang sangat kuat.