Mohon tunggu...
nihayaturrohmah
nihayaturrohmah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menggambar atau melukis Terkadang juga suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Epistemologi Transmisi Hadis pada Era Kodifikasi: Rekonstruksi Historis dan Implikasinya terhadap Otoritas Sunnah

10 Mei 2025   14:00 Diperbarui: 10 Mei 2025   14:02 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak awal sejarah Islam, hadis Nabi Muhammad SAW telah menjadi salah satu sumber utama ajaran dan pedoman hidup umat Islam setelah Al-Qur’an. Namun, tidak seperti Al-Qur’an yang segera dibukukan dan dijaga dalam bentuk tulisan, hadis pada awalnya disampaikan dan diwariskan secara lisan. Hal ini menimbulkan tantangan dalam hal keabsahan dan otentisitas informasi yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di sinilah muncul pentingnya proses kodifikasi hadis, yang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga berakar pada landasan epistemologis, yakni bagaimana sebuah pengetahuan dianggap sah, valid, dan otoritatif.

Kodifikasi hadis secara resmi mulai digalakkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H). Beliau menyadari bahwa penyebaran Islam ke berbagai wilayah, ditambah dengan meninggalnya para sahabat Nabi, mengancam keberlangsungan tradisi lisan yang menjadi sarana utama penyampaian hadis. Umar bin Abdul Aziz kemudian memerintahkan para ulama, salah satunya Ibn Syihab al-Zuhri, untuk mulai menuliskan hadis-hadis Nabi secara sistematis. Inisiatif ini menandai awal kodifikasi hadis dalam bentuk tertulis, dan menjadi tonggak penting dalam sejarah intelektual Islam.

Namun, proses kodifikasi tidak hanya soal mengumpulkan dan menulis hadis. Ulama pada masa itu mengembangkan metode ilmiah yang ketat untuk memastikan bahwa hadis yang dituliskan benar-benar berasal dari Nabi SAW. Mereka menciptakan disiplin ilmu yang dikenal sebagai ‘ilm al-hadith, yang mencakup kritik sanad (mata rantai perawi) dan kritik matan (isi hadis). Ini adalah bentuk epistemologi khas Islam: pengetahuan dianggap sah jika dapat ditelusuri sanadnya secara otentik dan isi matannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.

Konsep sanad menjadi ciri khas epistemologi Islam klasik. Dalam dunia ilmu pengetahuan modern, validitas pengetahuan umumnya dinilai berdasarkan metode empiris atau rasional. Namun dalam konteks hadis, validitas didasarkan pada kredibilitas para perawi dan kesinambungan mata rantai transmisi. Seorang perawi yang memiliki reputasi buruk atau lemah hafalannya, bisa menyebabkan hadis ditolak, meskipun isi hadis tersebut secara tekstual tidak bermasalah. Ini menunjukkan bahwa Islam menekankan kejujuran, integritas, dan kapasitas intelektual dalam transmisi ilmu.

Di sinilah terlihat bahwa kodifikasi hadis bukan sekadar proses administratif, melainkan sebuah konstruksi epistemologis yang kompleks. Ulama-ulama besar seperti Imam Malik dengan Al-Muwatta’, Imam Ahmad bin Hanbal dengan Musnad Ahmad, dan puncaknya Imam al-Bukhari dengan Sahih al-Bukhari, tidak hanya mengumpulkan hadis, tetapi juga menyusun metodologi ilmiah yang menjamin otentisitas setiap riwayat. Imam Bukhari, misalnya, hanya memasukkan hadis ke dalam kitabnya jika para perawinya bertemu langsung (liqa’), memiliki hafalan kuat, dan dikenal jujur.

Proses kodifikasi ini berdampak besar terhadap otoritas sunnah dalam Islam. Dengan adanya koleksi hadis yang tervalidasi, umat Islam memiliki pegangan yang sah untuk memahami ajaran Nabi. Sunnah tidak hanya menjadi pelengkap Al-Qur’an, tetapi juga menjadi sumber hukum dan nilai yang dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan. Bahkan, dalam hukum Islam (fiqh), banyak keputusan diambil dari hadis yang sahih. Hal ini menunjukkan bahwa epistemologi hadis telah membentuk fondasi otoritas keagamaan dalam tradisi Islam.

Dalam konteks kontemporer, pemahaman terhadap proses kodifikasi hadis ini menjadi sangat penting. Banyak kritik modern terhadap hadis berasal dari ketidaktahuan akan kompleksitas metode yang telah dibangun oleh para ulama klasik. Metode kritik sanad dan matan, jika dipahami dengan benar, justru bisa menjadi rujukan dalam menilai validitas narasi keislaman yang berkembang di era digital saat ini, termasuk hadis-hadis palsu yang tersebar di media sosial.

Kesimpulan 

Kodifikasi hadis pada hakikatnya bukan hanya sebuah upaya menjaga warisan Nabi secara fisik, melainkan juga membangun sistem pengetahuan yang khas dan kokoh. Melalui pendekatan epistemologis yang ketat, para ulama berhasil meletakkan fondasi intelektual Islam yang hingga kini masih dirujuk. Maka memahami sejarah kodifikasi hadis tidak hanya penting secara historis, tetapi juga relevan untuk membangun otoritas keilmuan Islam yang berakar pada integritas dan kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun