Mohon tunggu...
nigar pandrianto
nigar pandrianto Mohon Tunggu... -

Penulis lepas di berbagai media

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Memberi, Maka Kamu Anu….

27 Juli 2012   18:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:32 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu pagi yang gerah pada bulan puasa, saya berjalan melintasi Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, menuju tempat bekerja. Di pertigaan jalan yang biasa disebut pertigaan Relasi, saya melihat sebuah mobil sedan melambat. Kemudian, dari dalam mobil seorang perempuan mengulurkan sebuah bungkusan plastik kepada penarik gerobak sampah yang tengah mangkal di pertigaan tersebut.

Plastik itu transaparan. Karenanya saya dapat melihat isinya dengan jelas, ada beras dan tiga bungkus mi instan. Si penarik gerobak menerimanya dengan sumringah. “Terima kasih,” katanya.

Mobil tadi pun terus berjalan. Hmm, di bulan Ramadan tentu banyak orang yang ingin berbagi dengan orang lain yang dianggap kurang beruntung. Jadi pemandangan ini saya lihat sebagai sebuah kewajaran. Saya tersentuh dengan pemandangan yang saya saksikan itu. Ternyata masih ada orang yang memiliki hati untuk berbagi dengan sesama.

Namun itu hanya beberapa detik saja. Sebab kemudian saya merasa gelisah. Hal yang menggelisahkan saya adalah ekspresi si perempuan. Begitu bungkusan diterima oleh penarik gerobak, si perempuan buru-buru menarik tangan lalu mengibas-ibaskannya. Saya melihat ia meringis. Ekspresinya mengindikasikan ia merasa jijik, mungkin karena tangannya yang putih nyaris bersentuhan dengan si penarik gerobak yang mungkin sudah bergulat dengan sampah sejak subuh.

Pemandangan ini agak mengganggu saya. Saya bertanya-tanya, mengapa perempuan itu harus berkespresi demikian? Apakah ia benar-benar merasa jijik? Saya seperti melihat sebuah adegan dalam sinetron. Ada seseorang yang kaya, ingin memberikan sedekah kepada si miskin, namun sesungguhnya ia malas bertemu, enggan untuk berhadapan apalagi untuk bersalaman dengan si miskin. Seakan ia terlalu bersih untuk bersentuhan dengan si  miskin. “Kemiskinan” seakan sebuah “dunia yang lain”, dan tidak ada dalam realitasnya. Kemiskinan bagai alien yang ditakuti, yang dijauhi, bagai lepra yang harus dihindari. Di sini ketulusan seakan menjadi mahal. Jika pun tampak, ketulusan hanya sebuah citra, hanya gambaran yang tidak konkret. Bukankah citra jauh dari fakta? Jika demikian masih adakah makna dalam memberi?

Saya jadi teringat sepak terjang para calon gubernur DKI Jakarta menjelang pemilihan kepala daerah yang digelar pada bulan Juli 2012 lalu. Masih jelas dalam memori saya tim salah seorang calon gubernur gencar melakukan pengasapan nyamuk demam berdarah di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Setelah melakukan pengasapan mereka menempelkan stiker ataupun poster yang menyebutkan bahwa wilayah tersebut telah dilakukan pengsapan oleh tim “si anu’.

Di sini tampak sebuah usaha tarik-menarik massa. Di sini tidak terjadi perang ideologi, perang misi ataupun perang program, melainkan perang pencitraan. Para kandidat secara tidak  sadar telah membuat turbulensi massa dan deviasi image tentang lawan politiknya (Yasraf Amir Piliang dalam Postrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era Postmetafisika).

Namun setelah putaran pertama pemilihan kepala daerah usai, dan kandidat calon gubernur itu tidak lolos ke putaran selanjutnya, tidak ada lagi pengasapan, tidak ada lagi bagi-bagi amplop, tidak ada lagi kunjungan dengan tebaran senyum sana-sini, tidak tampak lagi sapa hangat dari mereka. Semua berakhir begitu saja. Jadi, masihkah makna dalam memberi ada pada tempatnya?***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun