Di Dusun Sulang Kidul, Kalurahan Patalan, Kabupaten Bantul, terdapat sekelompok perempuan yang memaknai tanah, tanaman, dan kebersamaan dengan cara yang khas. Kelompok Wanita Tani (KWT) Sri Lestari berdiri bukan karena proyek pemerintah semata, melainkan dari kemauan untuk menjawab kebutuhan bersama: pangan, relasi, dan ruang bagi perempuan desa untuk berkarya dan berkumpul.
Menariknya lagi KWT ini bukan hanya hasil panen berupa sawi, cabai, kangkung, atau tomat, tetapi bagaimana seluruh prosesnya dibangun dari semangat kolektif. Kebun mereka tidak luas, namun penuh kreativitas. Galon-galon bekas air mineral yang seharusnya dibuang, justru disulap menjadi pot-pot tanaman. Sebagian diikat berjejer pada rak bambu, sebagian lagi berdiri di atas tanah, membentuk lorong-lorong kecil yang rindang.
Menanam dalam Kebersamaan
Setiap hari Jumat pagi, anggota KWT berkumpul. Mereka datang dengan alat kebun masing-masing, saling menyapa, dan bergotong royong bekerja. Bahkan tidak ada sistem kerja upah maupun ada pemisahan antara pengurus dan anggota. Semua anggota KWT ikut bergotong royong dari menanam, menyiram, mencabut gulma, dan merawat bersama. Kolektivitas ini tumbuh dari pengalaman sehari-hari sebagai ibu rumah tangga yang terbiasa berbagi peran dan waktu, kini diterjemahkan ke dalam kebun.
Proses bercocok tanam bukan hanya soal teknik agrikultur, tetapi juga ruang membangun solidaritas. Setiap anggota mengetahui peran dan kebun menjadi ruang aman tempat perempuan bisa bersuara dan mengambil keputusan. Bahkan ketika hasil panen belum banyak atau saat ada kendala seperti kekeringan dan serangan hama, semangat gotong royong menjadi kekuatan yang menyatukan.
Pupuk Kandang dan Jejaring Desa
Keberhasilan kebun KWT Sri Lestari tidak terlepas dari dukungan kelompok lain di dusun yang sama. Salah satunya adalah Kelompok Ternak Sidorejo yang mengolah limbah ternak menjadi pupuk kandang cair. Hubungan antara KWT dan kelompok ternak ini bukan hanya soal pasokan pupuk, tetapi mencerminkan bentuk ekologi sosial yang saling terkait.
Pupuk kandang cair dari kotoran sapi dan kambing diolah melalui proses fermentasi yang diajarkan oleh mitra universitas. Hasilnya, tanaman tumbuh lebih subur tanpa perlu menggunakan pupuk kimia. KWT tidak hanya menerima hasil jadi, tetapi juga terlibat dalam diskusi dan praktik pengolahan. Pengetahuan baru itu menyebar secara horizontal di antara anggota, memperkuat keberlanjutan kebun sebagai bagian dari ekosistem lokal.
Sistem ini menciptakan distribusi yang menguntungkan banyak pihak: kotoran hewan tidak menjadi limbah, kebun KWT memperoleh nutrisi alami, dan warga mendapatkan produk segar dari kebun sendiri. Tidak ada yang benar-benar terbuang baik itu galon plastik maupun kotoran ternak semua bisa diolah kembali untuk kehidupan bersama.
Galon Bekas dan Imajinasi Ekologis
Pemanfaatan galon bekas menjadi simbol dari cara berpikir yang kreatif sekaligus kritis terhadap konsumsi. Daripada membeli pot atau planter bag yang mahal, anggota KWT memilih untuk menggunakan apa yang tersedia di sekitar mereka. Setiap galon tidak hanya berisi tanah dan benih, tetapi juga imajinasi ekologis: bagaimana mengubah sampah menjadi sumber kehidupan.
Dalam konteks ini, kebun tidak hanya menjadi proyek pertanian skala kecil, tetapi juga laboratorium sosial tempat praktik keberlanjutan dijalankan secara nyata. Bagi KWT Sri Lestari, berkebun bukan hanya tentang hasil panen, tetapi tentang bagaimana prosesnya mengajarkan nilai, membentuk kesadaran, dan mempererat ikatan antar warga.