Mohon tunggu...
Nida Delia Rahmah
Nida Delia Rahmah Mohon Tunggu... Mahasiswa S-1 Jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Hiii saya Nida Delia Rahmah hobiku menulis dan membuat konten sejarah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apresiasi Seni Gerabah Sitiwinangun: Memahami Sejarah, Mengagumi Karya Maestro, dan Merasakan Proses Kreatif

17 Mei 2025   07:48 Diperbarui: 17 Mei 2025   07:48 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Bersama Mahasiswa SPI UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Cirebon, Jawa Barat-Mahasiswa semester 6 jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI) UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon melakukan studi lapangan sanggar seni rupa ke Kampung Gerabah Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kab. Cirebon.

Kamis (8/5/2025) Mahasiswa SPI semester 6 UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon bersama dosen pengampu mata kuliah Apresiasi Seni Yunita Dwi Jayanti, M.Pd. tiba di kampung gerabah dengan sambutan hangat dari warga dan aparat desa. Kegiatan studi lapangan ini dimaksudkan untuk Memberikan pengalaman pada mahasiswa bagaimana mengamati dan memahami langsung nilai nilai seni dan sejarah dari kerajinan gerabah di desa ini. 

Pemaparan Materi Sejarah oleh Pak Wastani (Narasumber)
Pemaparan Materi Sejarah oleh Pak Wastani (Narasumber)

Dalam rangkaian kegiatannya diawali dengan pemaparan sejarah dari desa Sitiwinangun sebagai sentra kerajinan gerabah di Kabupaten Cirebon oleh Pak Wastani sebagai Dalang dan aparat desa. Berdasarkan pemaparannya sejarah awal sitiwinangun di bagi dalam tiga fase zaman. Fase pertama diperkirankan terjadi pada abad ke 12, sekitar tahun 1222 M. pada periode ini kerajaan Majapahit dan Kesultanan Cirebon belum berdiri. Yang berkuasa saat itu adalah Kerajaan Singosari. Keterkaitan Sitiwinangun dengan Singosari didasarkan pada penemuan bukti artefak gerabah di desa ini yang identik atau mirip dengan artefak peninggalan Singosari, hal ini juga telah diidentifikasi oleh para peneliti. Selain itu juga tahun 1222 tertera pada makam kuno di Sitiwinangun. Penemuan ini mengindikasikan adanya interaksi dan pengaruh dari peradaban Singosari di Sitiwinangun masa itu.

Fase kedua adalah masa perkembangan islam pada abad ke 14, masa ini dikenal dengan kedatangan para wali. Tokoh penting yang datang ke desa ini adalah Syekh Abdurrahman, putra raja Sulaeman dari Bagdad, Irak. Meskipun Mbah Kuwu Cirebon atau Pangeran Cakrabuana berperan dalam penyebaran Islam awal disini, Syekh Abdurrahman lebih intensif dan lama berdakwah di wilayah ini. Kedatangannya adalah untuk mengembangkan ajaran islam. Pada awalnya, dakwah Syekh Abdurrahman yang cenderung keras yang dipengaruhi kultur arab, kurang di terima oleh Masyarakat lokal. Hal ini sempat menimbulkan gesekan dimana Syekh Abdurrahman diceritakan membawa 300 orang pukul. Namun Mbah Kuwu yang lebih senior menyarankan mengguanakan pendekatan kultural agar dakwanya dapat diterima.

Syekh Abdurrahman kemudian merubah pendekatan dakwahnya dengan pendekatan kultural, Beliau kemudian berinteraksi dengan tradisi pembuatan gerabah yang sudah ada di Sitiwinangun. Syekh Abdurrahman melakukan kolaborasikan teknik pembuatan gerabah Arab dengan gerabah lokal, termasuk ornamennya. Beliau bahkan membuat padasan (tempat air) atau gentong untuk berwudhu, mengenalkan konsep bersuci dalam Islam (Bab Thaharah) kepada masyarakat. Selain itu, beliau juga mengadaptasi elemen lokal seperti "memolo" (mahkota masjid) yang dulunya merupakan bagian dari "langgar" (tempat ibadah lokal yang berasal dari "sanggar pamujat"). Beliau tidak mengubah karakteristik tempat ibadah, namun mengenalkan syariat Islam di dalamnya. Karena kedekatannya dengan masyarakat dan keterlibatannya dalam kegiatan pembuatan gerabah ("anjun"), Syekh Abdurrahman kemudian diberi gelar "Panjunan" oleh masyarakat setempat. Hal ini menjelaskan mengapa di Cirebon terdapat wilayah bernama Panjunan, di mana dulunya banyak pedagang gerabah dan terdapat masjid merah yang memiliki kaitan sejarah dengan Sitiwinangun. Para pedagang gerabah di Panjunan sebagian besar adalah pendatang Arab, sehingga dikenal sebagai "Arab Panjunan," yang menjadi etalase penjualan gerabah dari Sitiwinangun di pusat perekonomian kota.

Selanjutnya Fase ketiga yaitu masa perkembangan, kemunduran dan kebangkitan. Dimulai pada abad ke 16 hingga kini, nama sitiwinangun muncul pada era colonial belanda, seiring dengan perkembangan administrasi. Nama ini diambil dari aktivitas utama masyarakatnya: "Siti" yang berarti tanah, dan "Winangun" yang berarti dibangun atau dibentuk. Hal ini merujuk pada mayoritas penduduk yang berprofesi sebagai pengrajin gerabah. Tahun 1980an menjadi puncak kejayaannya diperkirakan terdapat 500 hingga 800 pengrajin gerabah di Sitiwinangun dan produksi serta penjualan gerabah mencapai 4 hingga 5 truk per hari, bahkan masyarakat memiliki koperasi dan mobil. Beberapa tokoh nasional seperti Wakil Presiden Adam Malik pernah mengunjungi Sitiwinangun pada masa itu. Kemudian pada era 1990an perkembangan teknologi plastik dan perubahan ekonomi menyebabkan kemunduran industri gerabah di Sitiwinangun. Produk plastik menggantikan fungsi gerabah, dan munculnya sektor ekonomi baru dengan keuntungan lebih besar menyebabkan banyak generasi muda beralih profesi

Pada awal tahun 2000-an, muncul upaya untuk membangkitkan kembali potensi Sitiwinangun. Pada tahun 2009, gerakan revitalisasi dimulai, bekerja sama dengan Forum Bisnis Cirebon yang diketuai oleh Sultan Arief Natadiningrat. Kerja sama ini melahirkan "Rumah Getak" sebagai pusat kegiatan. Melalui fasilitasi Forum Bisnis Cirebon dan dukungan dari pemerintah provinsi, Sitiwinangun secara resmi ditetapkan sebagai Desa Wisata pada tahun 2024. Sebelumnya, upaya mendatangkan wisatawan telah dirintis. Saat ini, dengan adanya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan dukungan berbagai pihak, generasi muda Sitiwinangun mulai aktif berkarya dalam mengembangkan gerabah dengan inovasi dan nilai seni yang lebih tinggi, diakui bahkan oleh akademisi. Meskipun tidak berlatar belakang pendidikan formal seni, karya anak muda Sitiwinangun mampu menghasilkan ornamen gerabah dengan nilai jual yang berbeda dibandingkan produk gerabah tradisional.

Keunikan dari Sitiwinangun adalah sumber daya tanah liatnya yang dipercaya memiliki "berkah," karena meskipun terus diambil selama berabad-abad, tidak pernah habis. Tanah ini memiliki karakteristik khusus yang menghasilkan gerabah berkualitas tinggi, tahan terhadap cuaca ekstrem, dan berbeda dengan tanah dari daerah lain yang tidak dapat menghasilkan gerabah dengan daya tahan serupa. Bahkan, metode glasir pada tanah Sitiwinangun memiliki kekhasan tersendiri.

Karya-karya Para Maestro di Desa Sitiwinangun
Karya-karya Para Maestro di Desa Sitiwinangun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun