Mohon tunggu...
Nicholas Andhika Lucas
Nicholas Andhika Lucas Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

â €

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Kerusuhan Mei 1998 dalam Aspek Hak dan Kewajiban

8 Desember 2022   20:31 Diperbarui: 8 Desember 2022   20:40 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kajian Pemenuhan Hak dan Kewajiban Berdasar Nilai Pancasila

Peristiwa ini secara langsung melanggar hak dan mengingkari kewajiban warga negara Indonesia, ditinjau dari nilai instrumental Pancasila, yaitu:

  • Hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (pasal 28A).
  • Hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 28B ayat 2).
  • Hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu (pasal 28I ayat 2).
  • Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (pasal 28E ayat 3).
  • Hak atas keadilan sosial (pasal 34).
  • Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (pasal 28J ayat 1).
  • Wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain (pasal 28J ayat2).
  • Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara (pasal 30 ayat 1).

            Lalu, peristiwa ini menjadi ancaman akan keutuhan Pancasila sebagai dasar negara akibat pengabaian dari nilai sila Pancasila sebagai nilai leluhur dan pandangan negara. Nilai-nilai Pancasila yang dilanggar dan terancam dari peristiwa ini adalah sila ke-2, 3, 4, dan 5.

Rentetan peristiwa yang berujung pada Kerusuhan Mei 1998 merupakan bentuk pelanggaran HAM dari warga negara Indonesia yang berat, baik dilakukan oleh aparat keamanan maupun pengunjuk rasa sendiri. Indonesia sebagai negara berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 dalam teori seharusnya memberikan ruang lingkup bagi anggota negaranya untuk mengekspresikan pendapatnya. Sayangnya, dalam pelaksanaannya, pemerintahan orde baru menciptakan ruang lingkup yang opresif. Paham-paham dan ideologi Pancasila sendiri diindoktrinasi, dan siapapun yang dipandang tidak sesuai dengan arahan Presiden Soeharto dianggap sebagai ancaman negara. 

Hal ini mengakibatkan hilangnya kebebasan berpendapat dari masyarakat, karena sekecil apapun kesalahan dalam berpendapat akan meresikokan nyawanya sendiri. Sistem opresif ini ditunjukkan dalam penanganan aparat keamanan saat terjadi unjuk rasa mahasiswa. Karena melakukan protes terhadap pemerintahan Soeharto dan kebijakannya, mahasiswa dianggap sebagai ancaman negara, sehingga tak semena-mena aparat keamanan membuka tembakan api. Kasus ini melanggar hak dari warga negara untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat, dan menjadi pelanggaran dari nilai sila ke-4 yang menjunjung tinggi kebebasan demokratis untuk berpendapat, bermusyawarah.

Kemudian, meninjau peristiwa yang terjadi setelah penembakan mahasiswa Trisakti, pelanggaran HAM dan pengingkaran kewajiban yang terjadi sungguhlah begitu berat. Aparat keamanan dan masyarakat terlibat dalam konflik bertubi-tubi. Kedua pihak bertanggungjawab atas ratusan korban yang berjatuhan akibat konflik ini, tidak peduli akan siapapun yang memprovokasi atau menyulut konflik terlebih dahulu. Tidak hanya konflik antara aparat keamanan dengan masyarakat saja, namun kerusuhan yang terjadi dialihkan sebagai sentimen terhadap masyarakat beretnis Tionghoa. 


Masyarakat Tionghoa mengalami pelanggaran HAM yang berat, kehilangan atas properti miliknya akibat penjarahan dan menjadi korban dari kekerasan serta aksi diskriminatif. Perlindungan atas warga negara tidak lagi terwujud dan diabaikan, baik oleh pemerintahan maupun warga negara sendiri. Dalam pelaksanaannya, warga Indonesia melakukan pengingkaran kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia dari orang lain. 

Warga Indonesia juga mengingkar kewajiban untuk ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara karena secara langsung terlibat dalam konflik yang mengancam keutuhan negara Indonesia. Kasus ini menjadi pelanggaran dari nilai sila ke-2 dan ke-5 yang mengedepankan hak asasi manusia dari setiap orang dan perlindungan sosial bagi setiap warga negara.

Terakhir, kerusuhan yang timbul akibat peristiwa ini merupakan bentuk perpecahan dari persatuan Indonesia yang dibangun atas perjuangan leluhur kita. Peristiwa ini menghadirkan konflik antar sesama warga negara dan bentuk diskriminasi yang ditujukan pada golongan tertentu. Dari esensinya sendiri, hal tersebut sudah tidak sesuai dengan nilai sila ke-3 Pancasila yang mengedepankan persatuan antar sesama dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi.

Solusi

Sebagai pertanggungjawaban atas ketidakpercayaan masyarakat, Presiden Soeharto secara resmi mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 21 Juni 1998. Jabatan kepresidenan kemudian diambil alih oleh B.J. Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden. Langkah pertama dari beliau yang diambil atas tanggapan dari peristiwa tersebut adalah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta yang ditujukan untuk melakukan investigasi atas Kerusuhan Mei 1998 yang terjadi, di mana laporan resminya dikeluarkan pada tanggal 23 Oktober 1998. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun