Pasal 251 KUHD telah lama menjadi dasar hukum bagi perusahaan asuransi untuk membatalkan perjanjian pertanggungan apabila terdapat informasi keliru atau yang disembunyikan oleh tertanggung. Namun, ketentuan ini menuai kritik karena memberikan kewenangan sepihak kepada perusahaan asuransi (penanggung) tanpa mempertimbangkan itikad baik dari pihak tertanggung.Permohonan pengujian konstitusional terhadap Pasal 251 KUHD diajukan oleh Maribati Duha, ahli waris dari tertanggung polis asuransi jiwa yang klaimnya ditolak oleh PT Prudential Life Assurance. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 mengoreksi keberlakuan pasal ini dari perspektif konstitusi.
Putusan MK: Inkonstitusional Bersyarat
Putusan MK No. 83/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak penting dalam sistem hukum perasuransian di Indonesia. Perkara ini menyangkut uji konstitusionalitas terhadap Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang selama ini digunakan sebagai dasar bagi perusahaan asuransi untuk membatalkan polis apabila terdapat kesalahan informasi atau penyembunyian oleh tertanggung bahkan jika dilakukan dengan itikad baik.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa ketentuan Pasal 251 KUHD bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai secara proporsional dan adil, serta tidak memberikan hak bagi tertanggung untuk membuktikan bahwa kesalahan tidak berasal dari niat buruk (bad faith).
Putusan ini menegaskan bahwa tertanggung memiliki hak konstitusional atas rasa aman dan perlindungan terhadap harta benda yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. MK menilai bahwa pembatalan sepihak terhadap polis asuransi yang telah aktif dan dibayar preminya selama bertahun-tahun tanpa proses pembuktian yang adil, merupakan pelanggaran terhadap hak tersebut.
Mahkamah tidak membatalkan Pasal 251 KUHD secara keseluruhan, melainkan memberikan tafsir konstitusional (conditionally constitutional), yakni:
"Pasal 251 KUHD tetap berlaku sepanjang dimaknai bahwa pembatalan pertanggungan oleh penanggung tidak serta-merta berlaku apabila pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau penyembunyian keadaan dilakukan dengan itikad baik dan bukan karena unsur kesengajaan dari tertanggung."
Dengan demikian, perusahaan asuransi tidak lagi dapat menolak klaim atau membatalkan polis secara sepihak tanpa proses pembuktian. Tertanggung atau ahli warisnya kini memiliki hak konstitusional untuk membela diri, termasuk membuktikan bahwa kesalahan yang terjadi tidak berasal dari niat jahat.
Dampak Putusan MK terhadap Industri Asuransi
Putusan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan pelaku industri asuransi. Sebagian pihak khawatir bahwa perusahaan asuransi kehilangan alat hukum untuk melindungi diri dari pemegang polis yang tidak jujur. Namun, dari sisi lain, sejumlah pengamat menilai bahwa putusan ini akan mendorong perusahaan untuk memperbaiki sistem seleksi risiko (underwriting), memperkuat peran agen, serta meningkatkan perlindungan konsumen.
Sebelum dikoreksi, Pasal 251 KUHD menjadi instrumen perlindungan hukum bagi perusahaan asuransi untuk menghindari kerugian akibat informasi tidak akurat dari tertanggung. Hubungan hukum dalam asuransi didasarkan pada kejujuran dan keterbukaan mutlak dari tertanggung, mengingat perusahaan asuransi tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi seluruh informasi risiko secara langsung.
Namun, dengan dikeluarkannya tafsir konstitusional atas pasal ini, muncul celah hukum bagi tertanggung untuk berlindung di balik klaim itikad baik, bahkan ketika ditemukan ketidaksesuaian data. Hal ini berpotensi mengganggu model bisnis asuransi yang bergantung pada kepercayaan dan manajemen risiko berbasis data.