Mohon tunggu...
Agnia Melianasari
Agnia Melianasari Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia pembelajar

-Writer -Speaker -Voice Over -MC, Moderator -Young Entrepreneur

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kisah Si Anak Bawang

2 Maret 2021   15:03 Diperbarui: 2 Maret 2021   15:13 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Mungkin, salah satu faktor yang membuat saya tidak begitu akrab dengan teman pondok saya adalah latar belakang atau gaya hidup. Ya, disaat teman-teman saya bisa menggunakan HP canggih di sekolah (sekolah dan pondok saya tidak satu yayasan, jadi kebijakannya berbeda),  atau uang jajan yang cukup tanpa harus meminta untuk dikirim. 

Saya menjalani masa putih abu dengan penuh keprihatinan. Jajan secukupnya, bahkan saya sering berbohong pada orang tua saya bahwa uang kiriman tiap bulan adalah lebih dari cukup. Saya juga berbohong, jika ibu saya menanyakan sudah jajan atau belum via telepon, saya selalu mengatakan “Iya”, meski sebenarnya saya sedang menahan perih. Harus bisa hemat! Begitu pikir saya. Cukup sebotol air putih yang saya bawa menjadi pengganjal lapar hingga pukul setengah tiga. Saya juga sempat berjualan makanan yang saya ambil dari salah satu guru saya, juga mencoba untuk menjalankan online shop.

Oh iya, di pondok, hari minggu adalah salah satu hari yang menyenangkan. Karena hari itu adalah hari libur sekolah dan libur kegiatan mengaji di pondok. Para santri diizinkan keluar dengan batas waktu yang ditentukan. Biasanya, santri putri ada yang ke pasar, bertemu dengan orang tua (dijenguk), pulang ke rumah (bagi santri yang rumahnnya dekat dengan syarat sore hari sudah kembali ke pondok), banyak juga yang pergi ke mall. Ya, pesantren kami memang terletak di daerah yang strategis. Dekat dengan pendopo kabupaten, masjid agung, terminal, alun-alun, stasiun,  juga swalayan atau tempat  refreshing lainnya.

Dan kebanyakan teman saya sering pergi ke swalayan untuk berbelanja atau sekedar mencari udara segar. Pernah kala itu, teman-teman satu kamar saya mengajak untuk pergi ke bioskop untuk menonton film terbaru. Hampir semuanya ikut, kecuali saya dan satu teman saya yang kebetulan sudah ada janji akan dijenguk oleh orang tuanya. Saya pun memberikan alasan bahwa saya akan ada kegiatan di sekolah. Sejujurnya, saya merasa tidak enak. Karena mungkin mereka akan menganggap saya tidak solid dan tidak gaul.

Sepanjang hari minggu, saya menghabiskan waktu di kamar. Setelah selesai mencuci pakaian, saya membereskan lemari, lalu mudzakarah, jika tidak ada tugas sekolah, kadang saya juga suka membaca novel, atau pergi ke depan pondok untuk membeli beberapa kebutuhan di koperasi pesantren.

Teringat kala itu, saya sedang duduk di serambi kelas, tempat dimana biasanya orang tua bertemu anaknya pada hari minggu atau pada jadwal jenguk lainnya. Saat itu banyak orang tua yang datang untuk melepas rindu dengan anak-anaknya. Hati saya bergumam, betapa senangnya mereka bisa dijenguk setiap minggu, dipeluk dan dicium manja oleh orang tuanya. Saya hanya memperhatikan mereka dengan sedikit iri. Karena selama pesantren, saya tidak pernah dijenguk orang tua saya. 

Boro-boro dijenguk dan dikirim bekal setiap minggu, untuk bayar syahriah (biaya bulanan) pun saya sering telat atau bahkan nunggak. Subhanallah… kadang saya juga sering merenung, betapa nekadnya saya ingin sekolah di luar kota. Dengan biaya yang cukup mahal (bagi saya) dan lingkungan yang saya rasa kurang cocok dengan kondisi ekonomi saya. 

Saya sering menangis terisak ketika mendapatkan peringatan agar segera membayar SPP di sekolah atau syahriah di pondok. Saya tak kuasa mengatakannya pada orang tua saya. Apalagi jika bapak saya sedang tidak ada uang sama sekali. Saya hanya bisa menangis sendirian. Terkadang juga menahan sesak saat berbicara melalui telepon.

Dimana ada kemauan, disitu ada jalan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Allah  itu Maha Adil. Saat dimana saya sedang berada di ujung tanduk. Hampir mundur dari medan perang, Ia datangkan orang-orang sholeh, orang-orang dermawan yang dengan ikhlas membantu saya. 

Pada akhirnya, atas bantuan salah satu guru saya, juga ayah dari teman saya, alhamdulillah saya diberi keringanan untuk membayar syahriah. Yaa meski beban masih terasa berat. Semakin dewasa tentu kita juga akan mendapatan tantangan hidup yang lebih besar. Jauh di lubuk hati saya yang paling dalam. Saya berjanji bahwa kelak saya akan membalas semua kebaikan orang-orang yang telah mendorong saya untuk terus berjalan menapaki tangga kesuksesan.

Sebenarnya banyak sekali pengalaman yang tidak bisa saya tuliskan disini. Ya, begitulah kehidupan. Semakin besar pohon, pasti akan semakin besar angin yang menggoncangnya. Berbagai cerita pahit di kota manis telah saya lalui. Alhamdulillah, dari berbagai rintangan itu saya bisa belajar lebih kuat dan menjadi pribadi yang lebih dewasa. Tak terasa, kini usia saya sudah 18 tahun. Saya sudah berhasil menyandang gelar mahasiswa. Alhamdulillah Ya Allah… Maasyaa Allah. Saya masih tak menyangka bisa berada di titik ini. Karena sebelumnya, untuk bisa merasakan bangku kuliah adalah hal yang hampir mustahil bagi saya. Bagaimana bisa seorang gadis kecil dengan keterbatasan ekonomi bermimpi untuk menjadi seorang mahasiswa dan berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun